Pakar: Posisi Presiden RI Relatif Kuat sejak Amandemen UUD

Rabu, 27 Mei 2015 | 06:19 WIB
Pakar: Posisi Presiden RI Relatif Kuat sejak Amandemen UUD
Presiden Joko Widodo didampingi pimpinan DPR dan sejumlah menteri Kabinet Kerja di Gedung Nusantara IV Senayan, Jakarta, Senin, (6/4). [suara.com/Kurniawan Mas'ud]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas (Unand), Saldi Isra mengatakan, posisi Presiden RI relatif lebih kuat secara konstitusional, setelah adanya amendemen atas UUD 1945 yang dimulai tahun 1999.

"Posisi Presiden dapat dikatakan relatif lebih kuat dalam fungsi legislasi, dengan kehadiran Pasal 20 Ayat (2) dan (3) UUD 1945," ungkap Saldi, dalam acara bertajuk "Seminar Peradaban Sistem Pemerintahan Indonesia, Presidensial atau Parlementer", di Wisma Elang Laut, Menteng, Jakarta, Selasa (26/5/2015).

Pasal tersebut, kata Saldi, menjadikan Presiden dalam posisi sama kuat atau fifty-fifty dalam pembahasan dan persetujuan sebuah rancangan undang-undang (RUU) dengan DPR. Hal itu terlihat dari desain UUD 1945 hasil perubahan, di mana ada sejumlah tahapan dalam proses pembentukan UU yang menjadi wewenang Presiden.

"Wewenang tersebut berupa pengesahan dan pengundangan sebuah rancangan undang-undang," ujarnya.

Lebih lanjut, Saldi mengatakan, dalam hal agenda tahunan seperti pengajuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), posisi Presiden malah lebih kuat. Di mana menurutnya, hanya Presiden yang dapat mengajukan Rancangan APBN (RAPBN) untuk mendapatkan persetujuan.

"Kekuatan Presiden yang diatur konstitusi tersebut semakin terlihat, mana kala APBN tidak mendapatkan persetujuan. Presiden dapat menggunakan perhitungan APBN tahun sebelumnya," katanya.

Kendati demikian di dalam praktiknya, lanjut Saldi, Presiden sepertinya lebih lemah dari DPR. Kondisi itu dikarenakan dalam hubungannya, acap kali Kepala Negara dalam pelaksanaan agenda kenegaraan memerlukan persetujuan dan pertimbangan lembaga legislatif.

"Misalnya persetujuan dalam menyatakan perang, membuat perdamaian, perjanjian antarnegara dan pemberhentian anggota KY. Lalu, pertimbangan DPR diperlukan dalam mengangkat duta, menerima duta negara lain, serta memberi amnesti dan abolisi," ungkapnya.

Meski demikian, tambah Saldi, keganjilan situasi dalam sistem presidensial pascaperubahan UUD 1945 bukanlah karena kesalahan desainnya. Melainkan lebih banyak disebabkan proses pencarian titik keseimbangan baru dalam praktiknya.

"Jadi, beda dengan dulu di zaman Orde Baru, di mana praktik sistem presidensial benar-benar menempatkan Presiden sebagai kendali sentral dalam pola hubungan antarlembaga negara. Situasinya juga memang diarahkan mencari keseimbangan itu," katanya menambahkan. [Antara]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI