"Kata dia gaji besar dengan Ringgit. Tapi ternyata kita mendapat perlakuan tak sesuai janji," ujarnya.
Kata Thoyyub, setelah perpindahan kedua orang-orang semakin banyak. Ada sekitar 700 manusia berkumpul.
Bahkan untuk bergerak di dalam kapal begitu susah. Mereka juga mendapat perlakuan tak adil dari ABK dan kapten kapal. Mereka tidak diberi makanan, minuman. Tapi, mereka diperas dan dipukul.
"Tak ada makanan, tak ada minuman. Kalaupun ada itu sedikit dan diperebutkan," katanya.
Sekian lama menunggu lama di laut, kata dia, kejadian janggal kembali terjadi. Para tekong, kapten, dan ABK kapal dijemput oleh sebuah speed boat dan segera meninggalkan boat. Kapal pun kemudian tak memiliki kapten lagi. Sementara orang-orang di dalam semakin gaduh, panik bukan main.
"Ada yang panik melompat ke air. Ada yang sakit sampai meninggal. Terjadi pertengkaran karena berebutan makanan. Tak hanya di antara Rohingya dan Bangladesh, pertengkaran juga bisa terjadi sesama karena rebutan itu," ujar dia.
Berhari-hari kejadian itu terus berlangsung di kapal, meski perjalanan masih berlanjut. Kapal terus berlabuh. Hanya saja setiap hendak memasuki perairan dalam wilayah negara Malaysia, Thailand, mereka selalu ditolak. Setelah diberi bekal makanan, bantuan bahan bakar, mereka diarahkan menuju lautan lepas.
Namun, segala ketersediaan logistik hanya mampu bertahan beberapa hari. Karena itu pula akhirnya mereka hanya bisa terombang-ambing di lautan, sampai akhirnya ditemukan nelayan Aceh. [Alfiasnyah Ocxie]
Ikuti hasil liputan langsung suara.com di lokasi penampungan pengungsi Rohingya dan Bangladesh