Suara.com - Kehidupan masa depan yang bebas polusi dan lebih ramah lingkungan, telah diarahkan dan tampaknya memang akan menuju ke sana. Pelaksanaan Car Free Day (CFD) alias Hari Bebas Mobil (Kendaraan Bermotor) di berbagai tempat sejauh ini, termasuk di kawasan bisnis Jakarta, menjadi salah satu contoh untuk itu. Tapi, bagaimana seandainya momen "bebas kendaraan bermotor" itu diperluas hingga sebulan penuh? Pernahkah ada yang mencoba?
Jawabannya: ada. Sekitar dua tahun lalu, Kota Suwon di Korea Selatan (Korsel), tepatnya di wilayah Haenggung-dong, telah mencoba program "bebas kendaraan bermotor" selama sebulan itu, yang diberi nama Ecomobility Festival. Ini merupakan program yang salah satunya dirancang oleh Konrad Otto-Zimmermann, Direktur Kreatif di The Urban Idea.
"Biasanya dalam perencanaan, Anda melakukan simulasi komputer, dalam bentuk gambar buatan tentang masa depan, dan mungkin presentasi PowerPoint. (Tapi) Kami melakukannya dengan cara berbeda: dengan kota sebenarnya, warga sebenarnya, dalam waktu yang juga sebenarnya (satu bulan)," ungkap Zimmerman, seperti diulas laman FastCoExist baru-baru ini.
Untuk diketahui saja, saat program itu dirancang, wilayah tersebut dikenal sebagai kawasan yang sibuk, penuh dengan kendaraan, dengan warga selalu berkendara nyaris ke mana-mana. Bahkan banyak tempat pun diisi oleh parkir di trotoar maupun pinggir jalan, saking ramai dan sibuknya wilayah itu. Pendeknya, nyaris tak ada yang membayangkan wilayah itu bakal bisa tanpa kendaraan, apalagi selama satu bulan.
Nyatanya, dengan perencanaan yang memakan waktu hampir dua tahun, termasuk dengan menggelar sejumlah pertemuan dan menggalang dukungan, Ecomobility Festival jadi juga digelar di wilayah Suwon tersebut, tepatnya pada September 2013. Sebanyak 1.500 mobil dipindah keluar dari wilayah itu, diparkir di lahan parkir resmi yang ada. Pihak pemerintah kota lalu menyediakan 400 sepeda temporer dan skuter listrik bagi warga, bahkan menyiapkan kursus bersepeda untuk mereka yang tak bisa melakukannya.
Saat pelaksanaan, urusan surat-menyurat dan logistik diantarkan menggunakan kendaraan listrik. Sementara bagi warga yang memerlukan mobilnya, akan diantar dengan shuttle bus yang berangkat tiap 15 menit, ke tempat parkir kendaraan mereka. Sementara di jalanan, selain orang yang berjalan kaki atau menggunakan sepeda dan skuter listrik, kerap kali ditemukan berbagai kegiatan menarik lainnya.
Intinya, suasananya sebenarnya kurang lebih sama dengan CFD, hanya saja dengan rentang waktu yang jauh lebih lama yaitu sebulan penuh. Catatan lainnya adalah bahwa selama rentang waktu itu, warga setempat terus berusaha menjalani hari-hari normal mereka --termasuk untuk bekerja-- dengan akses kendaraan yang hampir nol.
Yang menarik, sebagaimana keterangan Zimmerman pula, meski awalnya pelaksana berniat hanya coba menerapkan program ini sebulan, dan lantas membiarkan warga kembali ke kehidupan normalnya setelah festival berakhir, wali kota setempat ternyata punya pemikiran lain. Seiring dengan dikeluarkannya ribuan mobil dari wilayah itu menjelang pelaksanaan, Wali Kota memerintahkan memperbaiki sejumlah bagian jalan, memperlebar beberapa trotoar, bahkan menambahkan bangku-bangku dan taman kecil di sejumlah bagian. Sementara beberapa bisnis kuliner pun memutuskan membuka bagian depan tempat mereka dan menambahkan area terbuka.
Lantas, apa hasil dari program itu? Sedikit perubahan suasana sekaligus pandangan dari warga, jelas terasa. Namun salah satu pencapaian terbesarnya adalah berkurang drastisnya tingkat kecepatan atau laju kendaraan di wilayah itu, saat diukur lagi di bulan normal berikutnya. Warga sendiri kemudian sudah mulai banyak yang memilih berjalan kaki atau bersepeda sehari-harinya, tidak lagi suka memarkir mobil di pinggir jalan, serta menyukai berlakunya CFD setiap akhir pekan sekali dalam sebulan.
Kini, Zimmerman dan kawan-kawan pun siap mengulangi program serupa, kali ini di wilayah sibuk Sandton, di Johannesburg, Afrika Selatan. Bahkan Wali Kota Eksekutif Johannesburg, Mpho Franklyn Parks Tau, pun tampak sudah tak sabar menjalankan prgraom yang direncanakan terlaksana pada Oktober 2015 mendatang itu, dengan menunjukkan dukungan dan antusiasmenya di media.
"Kami ingin menunjukkan kepada warga dan pengunjung kota ini, bahwa masa depan ecomobile itu memungkinkan, dan bahwa transportasi publik, berjalan kaki dan bersepeda, bisa dilakukan dengan mudah, aman, atraktif, juga keren," tuturnya di situs milik Sandton Central.
Lantas, bisakah kota-kota lain --termasuk Jakarta-- juga mencoba program ini? Meski biayanya tergolong besar (mencapai USD10 juta saat di Suwon yang sebagian besar dipakai untuk perbaikan infrastruktur), Zimmerman menyatakan bahwa memang akan ada kota lainnya yang mengikuti langkah ini.
"Butuh wali kota yang open-minded, yang menyukai inovasi dan provokasi, yang memiliki visi hijau terhadap kotanya untuk melakukan ini," ujarnya. "Dan (butuh) seseorang yang punya pengaruh dan dukungan cukup besar untuk melalui program ini, karena secara prinsip ini memang kontroversial," tambahnya. [FastCoExist/Sandton Central]
Apa Jadinya Jika Jakarta Mencoba "Car Free Month"?
Arsito Hidayatullah Suara.Com
Senin, 18 Mei 2015 | 06:35 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Hak Perempuan Korban Kekerasan Jadi Prioritas, Menteri PPPA Kampanye di CFD
08 Desember 2024 | 18:00 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI