Gara-gara Kasus Ikan Berformalin, Nelayan pun Ikut Terseret

Kamis, 14 Mei 2015 | 07:40 WIB
Gara-gara Kasus Ikan Berformalin, Nelayan pun Ikut Terseret
Ilustrasi ikan hasil tangkapan nelayan tradisional. [Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Potensi perikanan dan kelautan di Kabupaten Flores Timur, dari tahun ke tahun sangat menjanjikan, dengan berbagai macam jenis ikan tangkap dan pembudidayaan berbagai macam hasil laut yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Dengan luas mencapai 2.064,65 kilometer persegi, laut di Flores Timur menyimpan berbagai macam hasil laut yang sangat menjanjikan.

Hanya saja, kasus ikan berformalin yang berhasil dibongkar oleh Balai Pengawasan Obat-obatan dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kelautan dan Perikanan setempat pada bulan Januari 2015 lalu, telah membuat para nelayan di Flores Timur merasa terpukul. Pasalnya, hampir semua ikan yang yang disita oleh DKP Provinsi NTT dan Balai POM di Tempat Penampungan Ikan (TPI) Oeba Kupang, disebut sebagai ikan yang mengandung formalin.

Parahnya, Pemerintah Kabupaten Sikka juga menyebut bahwa semua ikan yang beredar di kabupaten itu mengandung formalin, khususnya yang berasal dari Flores Timur. Hal itulah yang membuat para nelayan khususnya di Pulau Adonara dan Solor di Kabupaten Flores Timur, NTT, merasa sangat terpukul dengan kasus tersebut.

"Sejak kasus formalin tersebut berhasil diungkap Balai POM serta Dinas Kelautan dan Perikanan setempat pada Januari 2015, hasil tangkapan kami yang bebas bahan pengawet pun nyaris tak dilirik oleh konsumen," kata Muhamad Soleh, salah seorang nelayan dari Pulau Adonara, salah satu pulau di Kabupaten Flores Timur.

Diakui Soleh, kehidupan dirinya dan teman-teman nelayannya pun seolah berubah total usai kasus tersebut. Semangat mereka untuk melaut seolah-olah tidak ada artinya, karena telah dianggap menjual ikan yang mengandung formalin. Otomatis, pendapatan yang diperoleh para nelayan tersebut juga menurun drastis, karena hasil tangkapan tidak dibeli oleh para pembeli di pasaran.

"Sebelum mencuatnya kasus formalin, pendapat kami dalam sebulan berkisar antara Rp2 juta dan Rp3 juta. Namun setelah itu, untuk mendapat sejuta rupiah pun susahnya minta ampun," katanya polos.

Soleh menambahkan bahwa para nelayan di Flores Timur tidak pernah menggunakan bahan pengawet seperti formalin, untuk mengawetkan hasil tangkapannya yang diperoleh dari laut. Namun sayang, sejak ditemukannya ikan berformalin tersebut, hasil tangkapan nelayan yang bebas bahan pengawet pun sudah nyaris tak lagi dibeli oleh masyarakat.

"Imej positif tentang ikan Flores Timur sudah dikenal tidak hanya di NTT, tetapi di Indonesia, bahkan di luar negeri. Kini harus terpuruk dengan kasus ikan berformalin tersebut," ujarnya.

Hal senada disampaikan oleh Izmul Taher, warga Desa Menangga, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores Timur, yang kesehariannya bekerja sebagai nelayan di daerah itu. Menurut Izmul, informasi ikan formalin asal Flores Timur yang diberitakan media lokal secara besar-besaran pada Januari-Februari lalu, membawa dampak yang merugikan bagi para nelayan.

"Kasus ikan berformalin itu sampai sekarang masih menjadi bahan pembicaraan masyarakat Flores Timur, sehingga hasil tangkapan kami yang bebas bahan pengawet pun tidak laku jual," ujarnya.

Menurut Izmul, ikan-ikan asal Flores Timur sebelumnya selalu menjadi rebutan para konsumen di seluruh NTT, bahkan diekspor ke Jepang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Negeri Sakura tersebut. Namun kini yang memprihatinkan, ketika hasil tangkapannya itu tidak terjual semuanya, nelayan pun merasa seperti membuang uangnya ke laut.

"Kami seperti melihat membuang uang ratusan ribu kembali ke dalam laut, karena ikan-ikan kami tidak terjual," kata Izmul, sembari jari-jarinya merapikan jaringnya. [Antara]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI