Sabdaraja Jadi Diskusi Hangat di DPD

Rabu, 13 Mei 2015 | 17:57 WIB
Sabdaraja Jadi Diskusi Hangat di DPD
Diskusi tentang Sabdaraja bersama Karsono Hardjo Saputra, Dodi Riyadmadji, J Kristiadi di DPD RI [suara.com/Bagus Santosa]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Raja Keraton Kasultanan Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubawono X mengeluarkan Sabdaraja dan Dhawuhraja pada 30 April 2015. Isinya ialah penggantian nama gelar Sultan. Sedangkan isi Dhawuhraja ialah mengganti nama GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi.

Sabdaraja ini kemudian memunculkan diskusi hangat. Sebagian kalangan menilai Sabdaraja dan Dhawuhraja sebagai perintah Tuhan.

Koordinator Program Studi Bahasa Jawa Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Indonesia Karsono Hardjo Saputra mengatakan dari segi bahasa, salah besar bila Sabdaraja diartikan sebagai perintah Tuhan.

"Saya pengajar bahasa di fakultas, dan pengajar sastra, salah besar mengartikan Sabdorojo menjadi Sabdaraja. Sabda ini seharusnya diartikan, Kata Raja atau paling jauh diartikan Perintah Raja. Kalau diartikan seperti itu pasti tidak ada masalah," kata Karsono dalam diskusi bertema "Memaknai Sabda dan Dhawuh Raja Yogyakarta" di gedung Dewan Perwakilan Daerah, Rabu (13/5/2015).

Salah satu isi perintah Sultan ialah memberikan gelar Mangkubumi kepada anak perempuannya. Menurut Karsono, dengan adanya gelar tersebut bukan diartikan sebagai penunjukan seseorang menjadi pemimpin (Ratu). Sebab, pemimpin selanjutnya akan ditentukan Sultan lewat wahyu yang dia terima.

"Itu tidak dengan sendirinya menjadi Ratu, Mangkubumi bukan berarti menjadi putra mahkota. Tidak ada UU tertulis siapa yang dengan sendirinya menggantikan raja. Seorang adipati anom, belum tentu jadi raja meski punya darah biru. Yang menentukan (jadi raja) adalah wahyu," katanya.

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Dodi Riyadmadji mengatakan polemik tersebut sempat diadukan ke Kemendagri. Namun, katanya, Kemendagri tidak bisa berbuat apa-apa karena Yogyakarta merupakan daerah keistimewaan khusus untuk penentuan kepala daerah.

"Mengenai problematik ini, adik-adikya sultan ada yang datang ke Pak Tjahjo (Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo) meminta agar raja membatalkan sabdonya. Itu sebenarnya tidak ada instrumen hukum yang membuat presiden atau menteri bisa membatalkan itu. Karena itu masalah internal," ujar dia.

Di sisi lain, pengamat CSIS J Kristiadi menilai Sabdorojo seharusnya didiskusikan dengan Sengkono Dalem Kraton sehingga penyampaian tepat dan dengan demikian tidak simpang siur.

"Kalau lima sabdo ini tidak didiskusikan dengan Sengkono Dalem akibatnya bisa fatal, terjadi keributan, saru," kata dia.

Berbeda dengan Kristiadi, anggota Komite I DPD dan mantan Ketua Tim Kerja RUU Keistimewaan Yogyakarta Paulus Yohanes Sumino menilai Sabdorojo tersebut berdasarkan Paugeran (aturan internal) sehingga salah bila ada pihak luar Keraton mencoba-coba menjelaskan terbitnya Sabdaraja.

"Kalau begitu bisa kualat nanti," kata dia.

REKOMENDASI

TERKINI