"Saat itu, saya hanya bisa diam mengikuti perintah karena sebelumnya sudah dijewer, lumayan sakit dan memalukan di depan umum," kata Wita.
Ketua AJI Yogyakarta Hendrawan Setiawan mengatakan atas kejadian itu, AJI Yogyakarta menyatakan sikap.
Pertama, kerja jurnalis tidak boleh ada penyensoran dan intimidasi dari siapapun. Sikap yang dilakukan pelaku telah melanggar melanggar ketentuan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers pada Pasal 4 ayat 1, 2 dan 3. Bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Kedua, kata Hendrawan, dalam ketentuan pidana UU Pers Pasal 18 disebutkan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.
"AJI menilai perbuatan pelaku adalah salah satu bentuk ancaman terhadap kebebasan pers," kata Hendrawan.
Ketiga, pelecehan yang dilakukan adalah pelecehan terhadap profesi dan pribadi korban. Sebagai pekerja perempuan maka pelaku telah melanggar haknya yakni bebas dari teror, bebas intimidasi, mendapatkan perlindungan dan keamanan.
Keempat, AJI Yogyakarta meminta Biro Pers Istana meminta maaf. Dan kelima, AJI juga meminta Presiden Jokowi menempatkan orang yang memahami UU Pers di Biro Pers Istana.
"Kami mengimbau agar semua pihak termasuk para pejabat untuk memahami UU Pers agar tidak ada pemberangusan terhadap pers seperti zaman orde baru," kata Hendrawan.