Awal 2015 sudah Terjadi 12 Kasus Kekerasan terhadap Orang Pers

Minggu, 03 Mei 2015 | 15:04 WIB
Awal 2015 sudah Terjadi 12 Kasus Kekerasan terhadap Orang Pers
Memperingati Hari Kebebasan Pers Sedunia, AJI Indonesia membagi-bagikan selebaran tentang kebebasan pers kepada warga dan pengguna jalan di Taman Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (3/5/2015). [Suara.com/Oke Atmaja]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dalam memperingati World Press Freedom Day di Taman Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (3/5/2015), Aliansi Jurnalis Independen Indonesia merilis 12 kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di awal tahun ini.

"Baru awal tahun ini saja sudah 12 kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi. Dan polisi tidak serius menangani kasus ini," kata Ketua Umum AJI Indonesia Suwarjono.

Koordinator Divisi Advokasi AJI Indonesia Iman D Nugroho menambahkan sejak 1996, ada delapan kasus kematian jurnalis yang belum diusut tuntas oleh polisi, kemudian 37 kasus kekerasan sepanjang 3 Mei 2014 sampai 3 Mei 2015.‎

Dari 37 kasus, 11 di antaranya, dilakukan oleh polisi, enam 6 kasus dilakukan orang tak dikenal, empat kasus dilakukan petugas keamanan, empat kasus dilakukan massa, dan lainnya pelakunya dari berbagai macam profesi.

"Semua kasus kekerasan atas jurnalis yang dilakukan oleh polisi tidak pernah diselesaikan sampai ke jalur hukum. Maka dari itu kami menyatakan bahwa musuh bersama kebebasan Pers tahun ini adalah Polisi," kata Iman.

Berikut data 12 kasus kekerasan sepanjang awal tahun 2015:

1. Kasus wartawan Waspada, Muhammad Hannafiah, di Kota Langsa, Aceh, 15 Januari 2015. Ia mendapat teror di rumahnya dari orang tak dikenal.

2. Kasus wartawan media cetak Manado, Marvil Rumerung. Ia dipukul Polwan pada 14 Januari 2015.

3. Kasus wartawan Tabloid Fokus, Beni Faisal, di Lampung. Beni tewas ditembak orang tak dikenal pada 25 Januari 2015.

4. Kasus wartawan harian Suara Karya, Wisnu Bangun, di Banten pada 15 Januari 2015. Ia mengalami percobaan penganiayaan di gedung DPRD Banten oleh anggota dewan.

5. Kasus pelarangan liputan terhadap beberapa wartawan oleh Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo pada 28 Januari 2015. Yoyok melarang wartawan meliput ribuan nelayan yang demo menentang aturan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

6. Kasus wartawan harian pagi Cahaya Papua, Risaldi, di Manokwari pada 29 Januari 2015. Risaldi dianiaya massa saat melakukan salah seorang warga terkait aksi penutupan jalan raya.

7. Kasus kontributor Trans TV, Juanda, di Bogor pada 30 Januari 2015. Seorang dokter inisial VQ di RSUD Ciawi merampas kamera Juanda saat hendak meliput korban kecelakaan tabrakan beruntun.

8. Kasus wartawan media lokal Bekasi, Randy Yosetiawan Priogo pada 19 Februari 2015. Randy dikeroyok sejumlah orang tak dikenal.

9. Kasus kontributor Berita Satu TV, Ibeng, di Ternate pada 23 Maret 2015. Ia menjadi korban kekerasan oknum polisi saat meliput reka ulang kasus pembunuhan di wilayah itu.

10. Kasus ancaman pada redaksi media lokal Ambon Info Baru pada 24 Maret 2015 oleh anggota polisi Ipda SU. Polisi itu mengancam salah satu wartawan, Saleh Tuhuteru karena pemberitaan di koran lokal itu.

11. Kasus pelarangan liputan terhadap sejumlah wartawan oleh panitia penyelenggara acara Bandung Conference and Beyond 2015 di Balai Senat UGM, Yogyakarta, pada 8 April 2015. Wartawan dilarang mewawancarai Menteri Luar Neger Retno LP. Marsudi.

12. Kasus pelarangan peliputan terhadap wartawan majalah Selangkah, Papua, 30 April 2015. Wartawan majalah, Yohanes Kuayo, ditangkap Satgas Polda Papua saat meliput Panglima Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka Leonardus Magai Yogi dan dua temannya yang tertembak polisi dan dirawat di RSUD Nabire.

Terkait dengan pembatasan akses jurnalis untuk melakukan tugas jurnalistik di Papua, hal itu dinilai akan berdampak lebih buruk bagi rakyat Papua dan Indonesia. Pembatasan akan mendorong kemunculan lebih banyak situs-situs yang jauh dari prinsip-prinsip kerja jurnalisme yang mengedepankan verifikasi dan konfirmasi. Informasi yang beredar melalui internet yang tidak bisa dicegah penyebarannya tidak bisa diverifikasi, sementara jurnalis juga kesulitan melakukan tugasnya karena adanya pembatasan.

"Keterbukaan akses jurnalis di Papua justru akan memberikan publik informasi yang lebih kredibel dan dapat dipercaya, pun dapat pula menjadi mata dan telinga terpercaya bagi pemerintah Indonesia," katanya.

REKOMENDASI

TERKINI