Tim kuasa hukum penyidik utama Komisi Pemberantasan Korupsi Novel Baswedan tengah menyiapkan langkah moral dan hukum untuk menuntut institusi Polri. Mereka menilai Badan Reserse Kriminal Polri sewenang-wenang menangkap Novel.
"Ada beberapa langkah moral yang akan tempuh. Karena persoalan ini (penangkapan Novel) bukan murni kasus hukum, tetapi ini adalah masalah moralitas lembaga kepolisian," kata salah satu tim kuasa hukum Novel Baswedan, Muji Kartika Rahayu, kepada Suara.com, Minggu (3/5/2015).
Salah satu langkah hukum yang akan segera ditempuh tim pentacara Novel ialah mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Jakarta Selatan.
"Praperadilan salah satu strategi hukum yang tengah disiapkan. Secepatnya akan kami ajukan praperadilan, mungkin besok atau lusa," katanya.
Sejak Januari 2015, konflik antara KPK dan Polri yang menyedot perhatian nasional, sudah tiga kali terjadi. Dimulai saat Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan dicalonkan ke posisi kepala Kepolisian Indonesia oleh Presiden Jokowi yang lalu dipersoalkan KPK.
Berikutnya saat Wakil Ketua KPK (saat itu), Bambang Widjojanto, diperkarakan Kepolisian Indonesia, demikian juga dengan Ketua KPK (saat itu) Abraham Samad, dan terakhir penahanan Novel, yang juga anggota Polri. Personalia pimpinan KPK lalu diubah Presiden.
Baswedan ditangkap petugas Bareskrim karena dua kali mangkir dari pemeriksaan atas kasus dugaan penganiayaan hingga mengakibatkan meninggal dunia terhadap seseorang pada 2004.
Dia ditangkap di rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Pusat, pada Jumat (1/5/2015) pukul 00.30 WIB.
Surat perintah penangkapan Novel diregistrasi dengan nomor SP.Kap/19/IV/2015/Dittipidum yang memerintahkan Badan Reserse Kriminal Kepolisian Indonesia untuk membawa Baswedan ke kantor polisi.
Kasus yang diduga melibatkan Novel ini sudah lama terjadi, pada Februari 2004, Polres Bengkulu menangkap enam pencuri sarang walet, setelah dibawa ke kantor polisi dan diinterogasi di pantai, keenamnya ditembak sehingga satu orang tewas.
Novel yang saat itu berpangkat inspektur satu polisi dan menjabat kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu dianggap bertanggungjawab karena melakukan penembakan tersebut.
Beberapa waktu yang lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Polri bersikap transparan dalam mengusut kasus yang menimpa mantan polisi tersebut.
"(Polri) Harus transparan, itu masalahnya. Kalau tidak ada salahnya, (Novel) akan bebas. Di kepolisian ini terbuka juga, ada (jenderal) bintang empat kena juga, bintang tiga, bintang dua, bintang satu, semuanya di antara kita kan tidak boleh kebal (hukum). Tetapi (proses) itu harus transparan," kata Kalla.
Berikutnya saat Wakil Ketua KPK (saat itu), Bambang Widjojanto, diperkarakan Kepolisian Indonesia, demikian juga dengan Ketua KPK (saat itu) Abraham Samad, dan terakhir penahanan Novel, yang juga anggota Polri. Personalia pimpinan KPK lalu diubah Presiden.
Baswedan ditangkap petugas Bareskrim karena dua kali mangkir dari pemeriksaan atas kasus dugaan penganiayaan hingga mengakibatkan meninggal dunia terhadap seseorang pada 2004.
Dia ditangkap di rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Pusat, pada Jumat (1/5/2015) pukul 00.30 WIB.
Surat perintah penangkapan Novel diregistrasi dengan nomor SP.Kap/19/IV/2015/Dittipidum yang memerintahkan Badan Reserse Kriminal Kepolisian Indonesia untuk membawa Baswedan ke kantor polisi.
Kasus yang diduga melibatkan Novel ini sudah lama terjadi, pada Februari 2004, Polres Bengkulu menangkap enam pencuri sarang walet, setelah dibawa ke kantor polisi dan diinterogasi di pantai, keenamnya ditembak sehingga satu orang tewas.
Novel yang saat itu berpangkat inspektur satu polisi dan menjabat kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu dianggap bertanggungjawab karena melakukan penembakan tersebut.
Beberapa waktu yang lalu, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Polri bersikap transparan dalam mengusut kasus yang menimpa mantan polisi tersebut.
"(Polri) Harus transparan, itu masalahnya. Kalau tidak ada salahnya, (Novel) akan bebas. Di kepolisian ini terbuka juga, ada (jenderal) bintang empat kena juga, bintang tiga, bintang dua, bintang satu, semuanya di antara kita kan tidak boleh kebal (hukum). Tetapi (proses) itu harus transparan," kata Kalla.