Suara.com - Setelah penyidik senior KPK Novel Baswedan ditangkap Bareskrim Mabes Polri, Presiden Joko Widodo langsung meminta kepada Kepolisian untuk tidak melakukan penahanan. Namun, kini instruksi tersebut diabaikan oleh kepolisan.
Komisinoner Kompolnas Adrianus Meliala menyarankan pengabaian instruksi Jokowi harus segera dijelaskan segera oleh Kepala Kepolisian Indonesia Badrodin Haiti. Jika tidak, citra polisi kian terpuruk di mata publik.
"Harusnya Polri mengatakan kepada presiden ini bukan pilihan (menahan atau melepas), tapi hukum yang berbicara," ujar Adrianus ketika diskusi publik 'TeleNOVELa KPK-Polri' di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (2/5/2015).
"Bisa juga pengertian 'bebaskan' dari presiden itu tidak bebas sepenuhnya (kasus hukumnya). Tapi bisa tahanan kota," kata dia.
Novel Baswedan adalah mantan anggota Polri yang menjadi penyidik KPK pada tahun 2009 lalu. Dan pada tahun 2012 dia mengundurkan diri dari anggota kepolisian dan terus melanjutkan bekerja sebagai penyidik KPK.
Namun, kasus yang dituduhkan kepadanya saat ini, berlangsung pada tahun 2004 dimana saat itu dirinya bertugas di Polresta Bengkulu. Dia diduga melakukan penganiayaan dan penembakan terhadap beberapa orang dari enam tersangka pencurian sarang burung walet.
Setelah ditangkap, Novel langsung diterbangkan ke Bengkulu. Tujuannya, untuk melakukan rekonstruksi atau reka ulang kasus yang diduga melibatkan Novel 11 tahun silam. Namun, pengacara Novel menolak melakukan rekonstruksi.
Alasannya tidak ada komunikasi yang baik untuk pelaksanaan rekonstruksi. Kedua, Novel sebagai tersangka belum diperiksa dan tidak ada Berita Acara Pemeriksaannya (BAP), sehingga tidak ada sesuatu yang mau direkonstruksikan. Ketiga, adalah ada instruksi dari presiden dan kapolri agar instruksi tersebut dilaksanakan terlebih dulu.