Suara.com - Kematian Deudeuh Alfisahrin alias Tata Chubby pada Minggu (10/4/2015), seakan membuka tabir yang tertutup selama ini bahwa prostitusi sudah merambah sampai ke dunia maya. Fenomena Pekerja Seks Komersial (PSK) daring (online), setidaknya sudah muncul sejak satu hingga dua tahun terakhir, dengan semakin menjamurnya internet dan canggihnya teknologi.
Tata Chubby adalah panggilan akrab dari Deudeuh. Dia ditemukan meninggal karena dibunuh pada saat melayani pelanggan, di rumah kosnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Tata diketahui menggaet pelanggannya lewat media sosial Twitter. Cuitannya lewat media sosial (medsos) berlambang burung biru itu terang-terangan menginformasikan tentang profesinya sebagai penjaja cinta.
Kini sejak kematiannya terungkap, banyak pihak bereaksi. Termasuk di antaranya adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang mewacanakan lokalisasi prostitusi di Ibu Kota.
Lokalisasi yang legal, menurut Ahok, diperlukan untuk memperketat pengawasan dan praktik prostitusi agar tidak menyebar. Dalam wacana itu menurutnya, nantinya akan ada satu apartemen khusus yang memiliki izin dan dilegalkan.
"Ini kan ibarat sampah yang harus dibuang, supaya tidak kotor ke mana-mana dikumpulkan di satu tempat," kata Ahok.
Selain lokalisasi, mantan Bupati Belitung Timur itu juga melempar wacana agar PSK diberi sertifikat, seperti yang berlaku di Filipina. Namun, ide tersebut masih terus bergulir, meski terkait sertifikat sebenarnya merupakan hal yang teknis.
Perbudakan
Sementara, Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa mengatakan, dalam prostitusi terdapat eksploitasi, kriminalisasi, perbudakan, dan perdagangan manusia.
"Kalau setuju dengan lokalisasi, berarti kita kembali memberikan pembenaran terhadap proses perbudakan sendiri," kata Mensos.
Khofifah pun menegaskan bahwa dalam prostitusi itu ada perbudakan dan eksploitasi seksual maupun ekonomi serta perdagangan manusia.
"Saya ingin mengajak, bahwa ada proses yang dianggap sebagai sesuatu yang didekriminalisasi atau dianggap tidak kriminal terhadap prostitusi," kata Khofifah.
Menurutnya, kalau pada prostitusi itu ada perbudakan, ada perdagangan manusia, mestinya ini adalah sebuah tindak kriminal dan kejahatan.
"Jadi, persepsi yang ingin saya sampaikan adalah, ini sebetulnya sesuatu yang mestinya masuk kategori kriminal, kejahatan," tambahnya.
Mensos menceritakan, di Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) yang dimiliki Kemensos, ada anak usia 14 tahun yang terjun ke dalam prostitusi. Setiap malam anak itu harus melayani 19-20 orang.
"Sekarang dia mengalami pendarahan hebat. Saya bawa ke RS Polri untuk diobati. Bayangkan, anak usia 14 tahun mengalami seperti itu. Ini PR (pekerjaan rumah) besar buat kita," katanya.
Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Gerindra, Rahayu Saraswati, juga menyebutkan prostitusi sebagai bentuk kejahatan.
"Banyak orang berpikir PSK bukan manusia. Tapi mayoritas mereka masuk ke profesi ini karena masalah ekonomi," katanya.
Rahayu yang sebelumnya juga adalah aktivis antiperdagangan orang mengatakan, prostitusi bukanlah pekerjaan tetapi perbudakan. Dia menyebutkan, profit dari bisnis tersebut di Indonesia diperkirakan per tahun bisa mencapai US$3 miliar, sementara di dunia mencapai US$32 miliar.
Kontrol Masyarakat
Menteri Khofifah mengatakan, kontrol sosial di lini paling bawah seperti rukun tetangga (RT), dinilai efektif untuk mencegah prostitusi.
"Kalau saya sebetulnya berharap, lini paling bawah itu RT, yang bisa makin sering interaksi. Makin rekat dalam melakukan kontrol sosial dan bisa berjalan baik, itu akan ada sanksi sosial (yang) akan mengerem mereka. Kalau ada sanksi sosial, di lini bawah akan efektif," kata Khofifah.
Namun menurut Mensos, meski prostitusi daring marak, tidak juga berarti akan mematikan prostitusi di lokalisasi. Dia menilai bahwa prostitusi daring bukan sesuatu yang bisa dipersandingkan dengan lokalisasi.
"Tidak ada korelasinya. Daring tetap bisa jalan meski lokalisasi dibuka. Sekarang ini lokalisasi juga banyak kok," tambahnya.
Mensos mengatakan, prostitusi saat ini juga tidak semata-mata karena kebutuhan ekonomi. Karena menurutnya, banyak di antara mereka yang masuk ke dunia prostitusi ternyata juga karena gaya hidup.
"Kalau karena gaya hidup itu, maka upaya kita untuk lebih membumikan Nawa Cita terkait dengan reformasi karakter dan restorasi sosial (menjadi) lebih urgen. Jadi, hal yang terkait dengan bagaimana membangun karakter," ujarnya.
Khofifah sendiri mengaku sudah menyiapkan strategi yang memberi solusi, agar perempuan lebih mandiri secara ekonomi sehingga tidak harus terjun ke dunia prostitusi. Menurutnya, sejumlah program yang dimiliki Kemensos dapat memberdayakan perempuan dan meningkatkan ekonomi mereka.
Di Kemensos menurutnya, antara lain terdapat program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan Kelompok Usaha Bersama (Kube), yang bisa menjadi salah satu jalan keluar memberdayakan ekonomi. Tahun ini, Kemensos disebut menyiapkan dana untuk 70.000 penerima UEP, masing-masing sebesar Rp3 juta yang dapat dijadikan modal usaha.
Sementara dari segi aturan, pemerintah menurutnya juga memperkuat dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kekerasan Seksual, yang di dalamnya mengatur tentang kejahatan seksual, prostitusi, serta pornografi. RUU itu sendiri saat ini sudah dalam tahap finalisasi. [Antara]
Prostitusi: Dari Deudeuh, Lokalisasi, Sertifikasi hingga Solusi
Arsito Hidayatullah Suara.Com
Jum'at, 01 Mei 2015 | 06:15 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Deretan Kontroversi Andre Rosiade: Mulai dari 'Jebak' PSK hingga Kasih Lisensi Rumah Makan Padang
05 November 2024 | 09:33 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI