Suara.com - Kejaksaan Agung menegaskan bahwa penundaan eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkotika asal Prancis, Serge Atlaoui, bukan karena tekanan dari Presiden Prancis Francois Hollande.
"Bukan karena tekanan Presiden Prancis, melainkan karena dia (Serge) mengajukan perlawanan terhadap putusan PTUN yang menolak gugatannya terhadap Keppres Grasi. Dia mendaftarkan perlawanannya pada menit-menit terakhir batas waktu pengajuan, di hari Kamis 23 April pukul 16.00 WIB," kata juru bicara Tony Spontana kepada suara.com, Minggu (26/4/2015).
Dengan demikian, kata Tony, untuk sementara Serge tidak ikut eksekusi yang rencananya akan dilaksanakan Rabu (29/4/2015).
"Serge menunggu proses hukum sah yang harus kita hormati. Jika kelak putusan ditolak, seperti dalam kasus duo Bali Nine yang mengajukan perlawanan PTUN dan ditolak, maka Serge akan dieksekusi," kata Tony.
Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu merilis sepuluh nama terpidana mati yang masuk dalam daftar eksekusi tahap kedua yang akan dilaksanakan serentak di Pulau Nusakambangan.
Kesepuluh terpidana kasus narkoba yang akan segera dieksekusi terdiri atas Andrew Chan (warga negara Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Serge Areski Atlaoui (Prancis), Rodrigo Gularte (Brasil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Okwudili Oyatanze (Nigeria), dan Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina).
Akan tetapi, belakangan hanya ada sembilan terpidana mati yang menerima notifikasi pelaksanaan eksekusi pekan depan.
Seperti diketahui, rencana eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkotika diprotes keras oleh sejumlah negara, di antaranya Australia dan Prancis. Bahkan, Prancis mengatakan bahwa eksekusi tersebut akan merusak hubungan Indonesia - Prancis yang telah lama dibina.