Suara.com - Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Hukuman Mati menuntut pemerintah membatalkan rencana eksekusi mati terhadap 10 terpidana mati.
Aktivis Human Right Working Group Hafiz Muhammad menilai adanya sejumlah pelanggaran yang dilakukan aparat penegak hukum saat menangani proses hukum para terpidana tersebut.
"Mulai dari tidak adanya penerjemah bagi terpidana asing, tidak adanya pendampingan pengacara sampai pada lalainya aparat penegak hukum untuk menyikapi peninjauan kembali kasus tersebut," kata Hafiz di gedung Jiwasraya, Gondangdia, Jakarta Pusat, Minggu (26/4/2015).
Menurut dia, proses penanganan yang dilakukan terhadap para terpidana mati cenderung memiliki kecacatan hukum.
"Menurut hukum HAM Internasional, prinsip-prinsip fair final menjadi bagian penting proses hukum, karena hal ini terkait dengan hukuman yang diterima oleh terpidana," katanya.
Pihaknya berharap pemerintah memikirkan ulang eksekusi tersebut dan mengkoreksi kembali sistem hukum pidana untuk menyelamatkan warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di negara lain.
"Di sisi lain masyarakat Indonesia tengah bersedih dengan eksekusi mati dua buruh migran Indonesia di Arab Saudi," katanya.
Kejaksaan Agung beberapa waktu lalu merilis 10 nama terpidana mati yang masuk dalam daftar eksekusi tahap kedua yang akan dilaksanakan serentak di PulauNusakambangan.
Ke-10 terpidana kasus narkoba yang akan segera dieksekusi terdiri atas Andrew Chan (warga negara Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Serge Areski Atlaoui (Prancis), Rodrigo Gularte (Brasil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Okwudili Oyatanze (Nigeria), dan Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina).