Suara.com - Dalam sebulan terakhir, masyarakat Indonesia, khususnya di Jakarta, disuguhi berita praktik prostitusi yang dipromosikan melalui sosial atau online. Mulai dari kasus pembunuhan Deudeuh Alfisahrin atau Tata Chubby hingga kasus prostitusi di Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan, yang baru-baru ini terungkap.
Ketua Dewan Pembina Komisi Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi atau Kak Seto menanggapi kasus prostitusi ABG via online. Ia mengaku miris, mengingat pelakunya rata-rata masih di bawah umur, bahkan mahasiswi perguruan tinggi ternama.
“Sebenarnya kasus prostitusi dengan jejaring online bukan baru pertama kali ini saja. Sudah berjalan sejak lama, dulu kebanyakan menggunakan Facebook. Tapi saya kaget kenapa semakin ke sini bukannya semakin berkurang malah banyak yang terungkap. Selama ini pemerintah kemana,” kata Kak Seto saat ditemui di Monas, Minggu (26/4/2015).
Menurutnya, maraknya prostitusi yang menyeret kalangan remaja bukan semata-mata dilatari faktor ekonomi atau pendidikan.
“Jangan selalu mengatakan kalau orang jadi PSK itu karena masalah ekonomi. Banyak faktor yang bisa melatar belakanginya. Bisa aja karena faktor tuntutan gaya hidup, selain itu mereka butuh kesenangan yang tidak dia dapat di dalam keluarga. Jangan selalu pusat kesalahannya pada anak,” katanya.
Kata Kak Seto pemerintah harus berperan menyelesaikan masalah ini. Pemerintah harus mencari apa yang melatari mereka masuk ke dalam prostitusi.
“Razia saja itu belum cukup. Harus di cari tau juga latarbelakangnya. Itulah, pemerintah harus segera melakukan kajian dan koreksi pada sistem pendidikan yang terlalu mengedepankan sisi akademik dan kognitif. Karena terlalu fokus dengan akademik nilai moral dan agama jadi terpinggirkan. Padahal inikan yang penting untuk membentuk bangsa,” katanya.
Kak Seto meminta aparat hukum memberi hukuman setimpal kepada para pelaku. Seperti yang tertuang di Pasal 81 dan 82 UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Disebutkan setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun penjara.
“Termasuk kepada mereka yang memfasilitasinya,” katanya.