Suara.com - Tim pengacara terpidana mati kasus narkoba Rodrigo Gularte menolak notifikasi tentang pelaksanaan eksekusi karena yang bersangkutan mengalami gangguan jiwa.
"Kami tegas menolak eksekusi mati, bagaimana mungkin eksekusi dilakukan terhadap penderita gangguan jiwa. Rodrigo jelas-jelas sakit jiwa dan napi-napi tahu betul hal ini," kata Chritina Windiarti, satu dari tim pengacara Rodrigo Gularte, di Dermaga Wijayapura, Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu (25/4/2015) malam.
Christina mengatakan hal itu usai menghadiri pertemuan di Pulau Nusakambangan terkait dengan pemberitahuan pelaksanaan eksekusi mati tahap kedua.
Menurut dia, ada sembilan terpidana mati yang menerima notifikasi eksekusi, salah satunya Rodrigo Gularte. Oleh karena itu pihaknya akan terus melakukan upaya hukum agar Rodrigo batal dieksekusi mati.
"Kami akan berusaha semaksimal mungkin," katanya.
Sementara Utomo Karim, penasihat hukum terpidana mati Raheem Agbaje Salami, mengaku pasrah atas notifikasi eksekusi yang diterima kliennya.
"Kami sudah terima notifikasi soal itu pada hari Selasa (28/4), namun kami tidak tahu apakah Selasa malam atau Rabu (29/4) dini hari. Kalau tidak salah, ada tujuh (orang, red.) yang terima notifikasi," ujar Utomo.
Ia mengatakan notifikasi itu dibacakan oleh masing-masing jaksa eksekutor di hadapan terpidana mati, penasihat hukum, dan perwakilan negara asal terpidana.
Menurut dia, terpidana mati yang menerima notifikasi tentang eksekusi kemungkinan bisa bertambah.
Disinggung mengenai permintaan terakhir Raheem, dia mengatakan masih tetap seperti dulu, di antaranya ingin dimakamkan di Madiun, Jawa Timur, dan eksekusinya didampingi Romo Fusi yang akan memberikan pendampingan rohani mulai Minggu (26/4/2015).
Terkait lokasi eksekusi, dia memperkirakan tempatnya sama seperti saat eksekusi tahap pertama pada 18 Januari 2015, yakni di Lapangan Tembak Tunggal Panaluan. (Antara)