Suara.com - Kendati memiliki ratusan naskah kuno atau manuskrip-manuskrip istimewa, tak sedikit pula sebenarnya manuskrip koleksi Tarmizi A Hamid yang hilang. Sebagaimana diceritakan lelaki Aceh itu, jumlah manuskrip yang dia koleksi seharusnya sudah melebihi 500 manuskrip.
Namun menurut Tarmizi, karena banyaknya manuskrip yang hilang, maka jumlah koleksinya saat ini hanya 482 buah. Dari jumlah itu, 20 di antaranya pun belum memiliki rincian, lantaran isinya belum diketahui.
Manuskrip yang hilang itu, jelas Tarmizi, sebagiannya ada yang ditelan bencana tsunami pada tahun 2004 lalu. Namun ada pula yang lantaran dipinjam pihak tertentu tapi lantas tak dikembalikan. Manuskrip yang ditelan tsunami sendiri menurut Tarmizi berjumlah 115 manuskrip.
"115 buah bundel naskah kuno (yang) merupakan koleksi spesial, hilang disapu gelombang tsunami. Tak ada yang tertinggal," katanya, saat dikunjungi Suara.com baru-baru ini.
Menurutnya pula, ke-115 manuskrip itu merupakan karya-karya spesial yang dikarang oleh para syekh dan intelektual Islam yang tak tergantikan. Antara lain adalah Syekh Nurruddin Ar Raniry, Syehk Hamzah Al Fansury, Syekh Abdussamad Al Palembany, serta sejumlah syekh-syekh besar lainnya.
"Mereka itu syekh lintas zaman. Karya-karya mereka sering diburu oleh bangsa-bangsa dunia, khususnya bangsa Melayu seperti Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam," tuturnya.
Kesemua karya ternama itu, kata Tarmizi, harus tak bersisa, lantaran rumah yang dihuni Tarmizi kala itu di kawasan Lingke, Banda Aceh --saat ini menjadi kompleks keistimewaan di samping Kantor Gubernur Aceh-- dalam keadaan kosong tak berpenghuni. Saat itu, Tarmizi menurutnya sedang berada di Medan, serta hendak menuju Brunei untuk mencari informasi terkait manuskrip.
"Hilang tak berjejak. Gak ada yang selamat satu pun. Waktu kejadian tsunami, saya sedang di Medan, hendak menuju Brunei Darussalam untuk menghadiri kegiatan budaya dan tukar pikiran dengan orang-orang asli Borneo," tuturnya.
Berikutnya, kata Tarmizi lagi, ada pula manuskrip yang hilang karena dipinjam tak dikembalikan. Manuskrip-manuskrip ini berupa Al Quran yang sudah berusia 4 abad, yang memiliki sedikit perbedaan dengan Al Quran yang ada padanya saat ini. Naskah itu merupakan kitab berbahasa Melayu, kitab Arab, serta dua tafsir dan sastra.
"Ada enam jumlahnya semua yang dipinjam tak dikembalikan. Ini karya-karya yang luar biasa dan fenomenal," ujar Tarmizi.
Dikatakannya, keenam manuskrip itu dipinjam oleh seorang pengusaha dari Malaysia bernama Datuk Paduka Sri Mir Khan. Menurut Tarmizi, sosok itu juga tercatat sebagai salah seorang pakar ekonomi Malaysia lulusan Cornell University, Amerika Serikat (AS).
"Dia (Datuk Mir Khan) sering ke Aceh dan mengunjungi Sabang. Karena melihat sosoknya yang tak mungkin menipu, saya percaya ketika dia meminjam enam manuskrip itu untuk dibawa ke Malaysia," ujarnya.
Adapun alasan sang Datuk meminjam manuskrip saat itu, menurut Tarmizi, adalah untuk dipamerkan pada acara International Exhibition Manuscript 2009 di Kuala Lumpur. Acara itu disebut disponsori langsung oleh negara Dubai.
"Dia meminjam, (tapi) tidak ada akad jual beli atas naskah itu. Memang pernah dia mengirimi uang untuk saya, tapi bukan terkait manuskrip. Uang (itu) untuk bantuan pribadi. Saya sudah ingatkan berkali-kali, itu tidak akan saya jual. Karena karya-karya (itu) luar biasa dan sulit didapat," tegasnya.
"Tidak ada perjanjian jual-beli naskah kuno antara kami," tegasnya lagi.
Manuskrip yang Dipinjam Tak Pernah Kembali
Nyatanya, berbulan-bulan setelah acara berlangsung, lanjut Tarmizi, manuskrip itu tak kunjung dikembalikan. Untuk mendapatkan manuskrip yang dipinjam itu, Tarmizi mengaku bahkan sudah menempuh berbagai cara, mulai dari menelepon, hingga berkunjung langsung ke Malaysia.
"Saya telepon, jawabannya segera dikembalikan. Begitu aja, sampai akhirnya pada tahun 2010 saya ke Malaysia," katanya.
Sesampai di negeri jiran itu, menurut Tarmizi, dia kembali menghubungi sang Datuk. Setelah beberapa kali dihubungi, Datuk Mir Khan berjanji untuk bertemu dengannya di sebuah tempat. Namun setelah menunggu sekian lama di tempat yang dijanjikan, Datuk tersebut tak kunjung tiba. Hingga hari-hari berikutnya selama di Malaysia, Tarmizi mengaku selalu tertipu dengan janji Mir Khan.
"Dia cuma janji-janji, besok ke besok, akan menemui saya. Namun kenyataannya, dia tak pernah hadir membawa manuskrip itu," tukasnya.
Karena masih merasa yakin manuskrip itu akan dikembalikan, setelah pulang dari Malaysia pun, Tarmizi mengaku masih bolak-balik menghubungi sang Datuk. Namun hasilnya masih sama yaitu janji-janji palsu belaka.
"Tahun 2011, saya kembali lagi ke Malaysia. Saya hubungi dia lagi, (tapi) sudah orang lain yang ngangkat. Oleh orang itu dibilang jika nomor yang saya hubungi bukan Datuk Mir Khan, 'Jadi jangan hubungi-hubungi lagi ke mari,'" ucap Tarmizi menirukan apa yang disampaikan di balik telepon itu.
Sejak saat itu, Tarmzi pun mengaku akhirnya pasrah, merelakan manuskrip koleksinya dicuri sang Datuk. Meski demikian, sesekali dia masih juga berusaha mencari tahu tentang keberadaan Mir Khan dan manuskripnya.
Tarmizi mengaku pernah minta bantuan sahabatnya Dr Husaini Ibrahim, seorang dosen di Universitas Syiah Kuala, yang juga menjadi saksi atas peminjaman manuskrip oleh Datuk Mir Khan. Namun nyatanya, usaha itu tetap tak membuahkan hasil. Dr Husaini juga mengalami nasib serupa dengan Tarmizi.
"Dihubungi sama beliau (Dr Husaini), tapi yang ngangkat ngakunya bukan si Datuk itu lagi," ujarnya.
Belajar dari pengalaman itu, Tarmizi mengaku kemudian sangat sulit untuk memberikan manuskripnya kepada orang lain. Diceritakannya, bahkan pernah suatu ketika mantan Wali Kota Banda Aceh, almarhum Mawardy Nurdin, memintanya untuk memamerkan manuskrip-manuskrip itu di ajang Pekan Kebudayaan Aceh yang saat itu turut dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
"Saya tanya kepada beliau (Wali Kota) waktu itu, jika naskah ini hilang atau diminta oleh Presiden, bagaimana pertanggungjawabannya ke saya. Wali Kota gak bisa jawab saat itu. Kalau di luar (negeri), ini dijamin negara melalui asuransi. Kita tidak ada," katanya.
Sehubungan dengan itu, agar manuskrip miliknya terjaga dan bisa bermanfaat bagi orang lain, Tarmizi bercita-cita ingin mendirikan sebuah museum manuskrip di Aceh. Hanya saja, keinginan itu belum kunjung terealisasi lantaran dirinya tak punya biaya. Saat ini menurutnya, yang bisa dia lakukan hanyalah merawat manuskrip itu apa adanya.
"Dukungan kecil sekali untuk naskah-naskah warisan para sultan ini. Maka saya berusaha pelan-pelan, menyisihkan sebagian gaji saya untuk merawat ini semua, agar tetap terjaga dan bermanfaat," tandasnya. [Alfiansyah Ocxie]
Dari Manuskrip yang Ditelan Tsunami hingga Ditipu Datuk Malaysia
Arsito Hidayatullah Suara.Com
Sabtu, 18 April 2015 | 16:41 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Juru Kunci Ribuan Jiwa: Kisah Penjaga Makam Massal Korban Tsunami Aceh
20 Desember 2024 | 17:29 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI