Kitab-kitab Kuno Itu Berisi Sejarah Islam hingga Beragam Ilmu

Jum'at, 17 April 2015 | 08:17 WIB
Kitab-kitab Kuno Itu Berisi Sejarah Islam hingga Beragam Ilmu
Salah satu contoh manuskrip kuno yang dikoleksi Tarmizi A Hamid, saat dikunjungi Rabu (15/4/2015). [Suara.com/Alfiansyah Ocxie]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hampir rata-rata kertas putih yang tertulis dengan bahasa Arab Jawi itu mulai terlihat lusuh dan berubah warna menjadi hitam dan kecokelatan. Tapi siapa sangka jika di dalamnya terdapat berbagai macam pengetahuan, termasuk sejarah kejayaan Aceh dan perkembangan Islam. Salah satunya seperti yang tertuang di manuskrip Tuhfat At Thullab.

Manuskrip berukuran 20,5 x 15,5 cm ini merupakan karya Al Qadhi Zainuddin Abu Yahya Zakariya ibn Muhammad ibn Ahmad al Anshari al Sunaiki Al Mishri (823-926 H). Manuskrip yang merupakan salah satu koleksi Tarmizi A Hamid, seorang putra Aceh kelahiran Pidie, ini diproduksi di atas kertas dari Eropa pada abad ke-17 Masehi.

Manuskrip yang memuat ilmu fiqih ini disebut menjadi salah satu kitab favorit di seluruh lembaga pendidikan tradisional di Nusantara. Manuskrip yang merupakan bagian dari 400-an naskah kuno koleksi Tarmizi ini tergolong spesial, karena ditulis dengan tinta warna merah dan hitam.

"Naskah telah direstorasi dan dalam keadaan baik. Di bagian akhir manuskrip ini tertulis silsilah Tarekat Syattariyah," jelas Tarmizi, saat dikunjungi Suara.com, Rabu (15/4/2015) lalu.

Lain dari itu, ada lagi manuskrip Ash Shirat Al Mustaqim karya Nuruddin Ar Raniry. Karya ini merupakan karya fenomenal, karena ditulis dalam waktu cukup lama yakni mencapai 9 tahun. Sementara, karya lain Nuruddin Ar Raniry yang dikoleksi Tarmizi adalah Akhbar al Akhirah. Kitab ini ditulis pada tahun 1052 H (1642 M).

Menurut Tarmizi, naskah Akhbarul Akhirah merupakan salah satu karya perdana Nuruddin di awal periode Sultanah Tajul Alam Shafiyatuddin Syah (1641-1675 M). Teksnya ditulis menggunakan tinta hitam yang terbuat khusus dari rendaman biji besi yang dipanaskan.

"Maka (dari) itu tulisan huruf Arab Jawi-nya masih terlihat jelas dan bertahan hingga kini," ujar Tarmizi.

Kitab tersebut, menurutnya lagi, menceritakan eksistensi keberadaan alam. Diawali dengan penciptaan Nur Muhammad, penciptaan Adam, hingga mengungkapkan alam kematian yang berkaitan dengan sakaratul maut.

Karya-karya lain Nuruddin ar-Raniry yang diburu oleh negara Malaysia, Jerman dan Inggris adalah manuskrip Bustan as-Salatin fi Zikr al-Awwalin wal Akhirin (Bustan as-Salatin) dan Durar al Aqaid. Dikatakan Tarmizi, kitab Bustan as Salatin disusun pada abad ke-16, tepatnya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) sampai masa Sultan Iskandar Tsani (1636-1641). Kitab ini memberikan gambaran tentang Aceh dan kerajaannya pada abad ke-16 dan ke-17.

Pada masa tersebut, dikatakan Tarmizi, kitab ini merupakan kitab paling lengkap yang menceritakan kisah raja-raja Melayu secara universal. Khususnya terkait Kerajaan Aceh Darussalam, termasuk berisi rekam jejak perjalanan Istana Kerajaan Aceh dan struktural kenegaraannya.

"Nuruddin ar-Raniry (adalah) seorang ulama dan negarawan yang telah berhasil memberikan sumbangsih sejarah melalui kitab Bustan as-Salatin pada saat pengabdiannya di Aceh," katanya.

Sedangkan untuk Durar al Aqaid, menurut Tarmizi, merupakah satu-satunya manuskrip kuno yang baru ditemukan sampai saat ini. Di dalamnya dibahas "sifat-sifat 20" pada Allah SWT. Dalam kolofon teks naskah kitab ini, diperoleh informasi bahwa kitab ditulis pada tahun 2 Jumadil Awal 1079 Hijriah (Ahad, 8 Oktober 1668 M).

"Apabila dirunut dalam penanggalan, maka tahun tersebut (adalah) di periode Sultanah Safiyatuddin Tajul Alam yang memerintah tahun 1641-1675 Masehi," ucapnya pula.

Tarmizi mengatakan, naskah ini telah direstorasi dan ditutupi dengan kertas washi dari Jepang agar tetap terjaga. Menurutnya, kitab Bustan as-Salatin ini diselesaikan dalam waktu yang cukup lama. Meski tidak dapat dipastikan tahun berapa kitab ini mulai ditulis, namun perkiraan peredarannya berada pada tahun 1640 Masehi (1050 H).

"Kitab Bustanus as-Salatin menjadi salah satu bacaan orang yang berada di kediaman Kerajaan Aceh. Secara psikologis, kitab ini memiliki nilai historis yang tinggi dan menjadi rujukan para sejarawan dan riset dalam melakukan berbagai kajian, dari dulu hingga kini," tutur Tarmizi.

Kitab Ber-"watermark" hingga Kitab Berisi Syariat dan Tata Bahasa
Manuskrip pilihan lainnya yang diperlihatkan Tarmizi adalah Dalail al Khairat. Manuskrip yang diproduksi di atas kertas buatan Eropa abad ke-17 Masehi ini dikarang oleh Imam Abu Abdillah al Jami' Sayyid Muhammad ibn Sulaiman ibn Abi Bakr Al Jazuli (w.870 H / 1465 M).

Yang menarik, jika diterawang, pada bagian dalam kertas kitab ini terdapat semacam watermark (tanda air) yang menjadi kode penerbit saat itu. Dikatakan Tarmizi, teks dan naskah Dalail al Khairat hingga saat ini masih eksis dibaca dan didendangkan oleh masyarakat Aceh, terutama pada acara-acara seremonial seperti Maulid Nabi Muhammad SAW.

Manuskrip berukuran tebal ini ditulis dengan tinta warna hitam, dipadukan dengan warna merah pada bagian rubrikasinya. Untuk membatasi teks dalam naskah, kitab ini juga ditandai dengan garis pinggir yang berbentuk persegi. Garis ditarik menggunakan tinta berwarna merah.

"Di halaman tengah naskah juga tergambar mimbar Masjid Nabawi dan letak makam Nabi Muhammad SAW bersama dua sahabatnya," tutur Tarmizi, sambil menambahkan bahwa kitab ini dipenuhi dengan pujian-pujian kepada penghulu nabi, doa-doa, serta kisah kehidupan para nabi.

Selain guratan-guratan tinta yang mengisahkan para nabi, ada juga kitab al Fiqh. Manuskrip ini memuat berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sepanjang zaman. Menurut Tarmizi, al Fiqh merupakan kitab paling populer dan masih digunakan oleh kalangan muslim di Indonesia. Kitab ini diproduksi di atas kertas buatan Eropa pada tahun 1806 Masehi, meski tak diketahui pasti tahun penerbitan dan penulisnya.

"Kitab ini memuat pengalaman keseharian masyarakat dengan dalil dan hukum-hukum syariat Islam. Ruang lingkup fiqih pada naskah kitab ini dimulai dengan bab tentang pernikahan," ujarnya.

Ditambahkan Tarmizi, kitab ini juga membahas ruang lingkup fiqih muamalah, yang mencakup segala aspek kehidupan manusia. Dengan kata lain, bahasannya mulai dari aspek sosial, ekonomi, politik, hukum dan lain sebagainya, yang meliputi kegiatan muamalah berdasarkan hukum-hukum Islam.

"Naskah ini merupakan bagian penting untuk pengembangan pemikiran intelektual Muslim di Aceh dan Tanah Air," tutur Tarmizi pula.

Selanjutnya, Tarmizi juga memiliki kitab Mir'at Ath Thullab. Kitab karya Syekh Abdurrauf al Jawi al Fansuri ini dikarang pada tahun 1663 Masehi. Kitab ini merupakan kitab yang diproduksi atas permintaan Sultanah, untuk menjawab persoalan keagamaan terutama di bidang fiqih pada masyarakat yang heterogen dan kontemporer.

Menurut Tarmizi, di pembukaan naskah (oxorodium) disebutkan bahwa Abdurrauf menerima permintaan Sultanah untuk mengarang sebuah kitab yang dapat dijadikan referensi Kesultanan Aceh dan segala wilayah di sekitarnya. Mir'at Ath Thullab memuat beberapa tema seperti persoalan qadhi, riba, khiyar, buah-buahan, iqradh, iyaul maut (pemanfaatan lahan tidur), wakaf, dan lain sebagainya.

Karya terakhir yang diperkenalkan Tarmizi dan disebut paling ternama serta dicari oleh kolektor manuskrip adalah kitab Taudhih. Kitab ini berisikan tentang tata bahasa (nahwu) yang dikarang oleh Khalid ibn Abdullah ibn Abi Bakr Al Azhari (w905 H/1500 M).

Kitab ini merupakan juga ringkasan dari kitab Alifah Syarh al-Masalik karya Ibnu Hisyam (w.761 H/ 1359 M). Manuskrip ini, menurut Tarmizi, berisikan kumpulan karangan yang memiliki tema yang sama di bidang nahwu dan membahas tentang tata bahasa.

"Naskah ini menjadi salah satu rujukan utama para santri dalam mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab," ujarnya pula. [Alfiansyah Ocxie]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI