Al Quran Berusia Empat Abad Itu Disimpan dan Dirawat Seadanya

Kamis, 16 April 2015 | 10:43 WIB
Al Quran Berusia Empat Abad Itu Disimpan dan Dirawat Seadanya
Salah satu bagian dari kumpulan manuskrip tua yang dikoleksi Tarmizi A Hamid, saat dikunjungi Rabu (15/4/2015). [Suara.com/Alfiansyah Ocxie]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kitab lama bertulisan Arab itu diletakkan di meja ruang tamu di dalam sebuah rumah. Kitab lainnya tersusun rapi dengan berbagai ukuran. Kertas dari kitab itu setiap lembarnya terlihat kecokelatan, bahkan sedikit hitam. Sebagian di antaranya tampak ada yang koyak, seperti dimakan rayap.

Meski demikian, aksara Arab yang tertulis dengan tinta hitam pada kitab itu tampak tak sedikit pun luntur. Semua masih terlihat jelas untuk dibaca. Setiap tulisan sama, seperti baru saja ditulis.

Kitab itu adalah sebuah Mushaf Al Quran kuno milik Aceh yang sudah berusia empat abad. Sebuah karya yang ditulis dengan tangan alias manuskrip, yang tampak indah dan lengkap. Manuskrip tersebut merupakan koleksi Tarmizi A Hamid, seorang putra Aceh kelahiran Pidie.

Selain Al Quran itu, Tarmizi juga mengaku memiliki 482 manuskrip kuno lainnya. Manuskrip-manuskrip miliknya, menurut Tarmizi, memuat tiga bahasa yakni Arab, Melayu, dan bahasa Aceh. Semua tertulis dengan huruf Arab Jawoe (Arab Jawi).

"Manuskrip-manuskrip ini merupakan karya-karya para ulama terdahulu, seperti Syekh Abdurauf al Jawi al Fansuri, Imam Abu Abdillah al Jami', Nuruddin Ar Raniry, dan lainnya. Semuanya sudah berusia sekitar empat atau tiga abad," tutur Tarmizi, saat dikunjungi Suara.com di rumahnya yang terletak di Kompleks BIP, Ie Masen Kayee Adang, Banda Aceh, Rabu (15/4/2015).

Dijelaskan Tarmizi, Mushaf Al Quran kuno itu sendiri merupakan sebuah karya yang dibuat pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada bagian awal, tengah dan akhir Al Quran itu, disertai ilustrasi penuh di kedua halaman. Setiap ilustrasi memiliki corak berbeda yang menunjukkan karakteristik dan warna khas Aceh, yakni merah, hitam putih dan kuning keemasan. Kemudian ada juga beberapa bentuk mahkota, antara lain tameh puntong (tiang penyangga terpotong) dan talo meuputa (tali berputar).

"Masa Sultan dahulu, pernah dilakukan penulisan karya secara besar-besaran. Menulis kita-kitab dan cerita apa saja untuk disampaikan kepada ulama. Untuk penulisan ini, Sultan memesan kertas khusus yang tujuannya agar setiap tulisan bertahan pada setiap generasi. Ini hanya sebagian dari karya-karya yang hadir pada masa itu," jelas Tarmizi.

Demi mendapatkan naskah-naskah kuno itu, Tarmizi mengaku telah menghabiskan waktu belasan tahun. Menurutnya, dirinya mulai mengumpulkan manuskrip sejak tahun 1995. Inspirasi soal pengumpulan manuskrip sendiri dia dapat dari Semenanjung Malaya dan Brunei Darussalam. Menurutnya, kedua negara itu maju lantaran peduli akan budaya yang diwariskan, sebagaimana yang dituangkan pada manuskrip-manuskrip kuno.

"Saya berpikir, kenapa di Aceh tidak ada mahakarya sehebat itu? Kenapa harus di negeri orang? Mulai dari situ, saya pun berniat untuk mencari dan mengumpulkan karya-karya ini," ungkapnya.

Dijelaskan Tarmizi, mulanya ia hanya memiliki 10 manuskrip yang merupakan peninggalan orang tuanya. Manuskrip tersebut berupa kitab Tajulmuluk dan beberapa kitab karangan Nuruddin Ar Raniry (-1658 M) seperti Durar Al-Aqaid li-Abtali Aqwal Al-Malahid dan Ash Shirat Al Mustaqim. Manuskrip kuno tulisan tangan itu berisikan berbagai macam topik, seperti hukum Islam, tauhid, tasawuf, seni dan sastra, sejarah, sampai pengobatan.

"Naskah kitab itu merupakan judul naskah satu-satunya yang ditemui sampai detik ini. Di dalamnya juga dibahas tentang dasar-dasar sifat 20 pada Allah. Ini merupakan karya-karya para ulama yang selalu menghiasi pengetahuan sepanjang masa," ujar Tarmizi.

Tarmizi A Hamid dengan kumpulan manuskrip kunonya. [Suara.com/Alfiansyah Ocxie]
Keliling Kampung, Barter, Disalin ke Digital
Untuk mendapatkan literatur-literatur kuno lainnya, Tarmizi lantas menempuh berbagai cara. Dia bahkan mengaku rela mengeluarkan banyak biaya, meski penghasilan dirinya sendiri tidak seberapa. Kadang-kadang, dia juga melakukan barter, menukar naskah dengan Al Quran yang diproduksi zaman sekarang, atau dengan beras atau padi. Naskah-naskah kuno paling banyak ia dapatkan dari orang-orang di perkampungan di Aceh Besar, Pidie, serta para agen yang tersebar di Riau, Padang dan Medan.

"Karya-karya ini tak ternilai harganya. Kalau dibeli semua, pasti nggak akan sanggup saya. Sampai saat ini jika kita uangkan, bisa saja sudah miliaran biaya untuk mendapatkan ini (manuskrip). Belum ditambah lagi biaya perawatan," tutur Tarmizi yang bekerja di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.

Kecintaannya akan manuskrip memang luar biasa. Menurut pengakuan Tarmizi pula, dirinya bahkan sampai menjual sawah di kampung halamannya untuk memperoleh sebanyak 18 macam manuskrip kuno.

"Manuskrip ini merupakan bukti kegemilangan Aceh yang dalam sejarahnya terkenal sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam terkemuka. Maka saya pikir, untuk menjaga dan melestarikan apa yang tertuang dalam manuskrip itu sampai ke generasi-generasi Aceh selanjutnya, butuh sebuah pengorbanan," katanya.

Diakui Tarmizi pula, memang tak semua generasi muda di Aceh saat ini memahami dan dapat membaca setiap pengetahuan yang ada di manuskrip. Untuk itu, agar koleksinya bisa dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di Aceh, pelan-pelan dia mengajak kawannya yang peduli pada naskah kuno, untuk menerjemahkan setiap aksara di naskah. Dia juga melibatkan pakar antropologi, filologi dan kodikologi untuk mengupas persoalan manuskrip.

"Jerman, Inggris, Malaysia, ngotot untuk mendapatkan manuskrip yang memang bermanfaat bagi pengetahuan dan kehidupan setiap generasi ini. (Tapi) Ini kan warisan. Maka pelan-pelan, ini kita coba untuk bisa diketahui oleh generasi kita sekarang. Kita lakukan upaya-upaya agar mahakarya ini berguna," ucap Tarmizi.

Meski dalam hal ini pemerintah tidak peduli, menurut Tarmizi, dirinya akan tetap terus berjuang, agar goresan pena para ulama ini terjaga sepanjang masa. Saat ini bahkan, dia telah mendigitalkan sebanyak 20 naskah, serta melakukan restorasi terhadap 200 manuskrip.

Sedangkan untuk merawat ratusan naskah kuno yang belum direstorasi, menurut Tarmizi pula, dirinya hanya melakukan seadanya. Rata-rata dia membalut manuskrip itu dengan kain yang telah ditaburi kapur barus, lada dan cengkeh, agar tidak dimakan rayap.

"Hasil karya mereka merupakan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang senantiasa menerangi kehidupan, kendati roda waktu terus berputar. Maka (sudah) seharusnya kita rawat dan jaga bersama. Ini adalah bukti otentik dari sejarah bangsa kita," tutur pria berusia 47 tahun tersebut. [Alfiansyah Ocxie]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI