Suara.com - Pemerintah Malaysia mengesahkan rancangan undang-undang (UU) anti-terorisme, Selasa (7/4/2015) kemarin. UU itu benar-benar mengerikan, bahkan mendapat protes dari LSM hak asasi manusia.
Bagaimana tidak UU itu disinyalir bisa sebagai alat untuk 'mencaplok' kaum pemprotes kebijakan pemerintah. UU itu berpotensi bisa membuat pemerintah Malaysia menjadi negara otoriter.
Dalam UU tersebut, tersangka teroris bisa ditahan selama 59 hari oleh polisi. Sementara tersangka teroris itu juga bisa ditahan selama 2 tahun. Bahkan bisa diperpanjang tanpa batas waktu maksimal.
Kalangan praktisi hukum dan pengacara di sana paling memprotes UU itu. Sebab bisa saja masyarakat yang kritis dianggap sebagai teroris.
"Sekarang kebebasan berbicara sedang dibasmi," kata salah satu pengacara Malaysia Michelle Yesudas.
Pengacara lainnya, Eric Paulsen menilai Malaysia akan bernasib seperti Mesir. Sebab sebelum UU itu lahir, ada 20 orang wartawan, politisi oposisi dan seorang profesor universitas didakwa dengan pasal penghasutan sepanjang tahun lalu. Pekan lalu, seorang kartunis Zulkiflee Anwar Ulhaque didakwa dengan 9 tuduhan penghasutan di Malaysia.
Sebelumnya, Malaysia terakhir kali memberlakukan penahanan tanpa persidangan pada tahun 2012 berdasarkan Internal Security Act (ISA). Pada tahun itu, undang-undang tersebut dicabut oleh pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak.
Kini, undang-undang serupa kembali diberlakukan. Aktivis Human Rights Watch (HRW) Phil Robertson menilai, keputusan itu sebagai langkah mundur terhadap penegakan hak asasi manusia di Malaysia.
Dengan undang-undang baru tersebut, polisi bisa menangkap dan menahan siapapun yang diduga terlibat aksi terorisme. Keputusan perpanjangan penahanan ditentukan oleh Badan Pencegahan Terorisme. Undang-undang ini melangkahi badan peradilan.
Pada Senin (6/4/2015), Malaysia menangkap 17 terduga teroris perencana serangan ke Kuala Lumpur. Mereka yang ditangkap berusia antara 14 hingga 44 tahun, termasuk dua orang yang baru kembali dari Suriah. (nytimes)