Suara.com - Peneliti dari lembaga Institute Criminal Justice Reform, Anggara Suwahju, menolak kebijakan Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir situs yang dianggap berisi konten ajaran radikal, apalagi tidak didahului dengan perintah dari pengadilan.
"Kami menentang pemblokiran sewenang-wenang tanpa proses hukum yang adil, apalagi pemblokiran situs tanpa adanya perintah dari pengadilan. Pemblokiran situs internet tanpa pengaturan yang jelas dan transparan akan membawa konsekwensi yang besar terhadap adanya kemungkinan kesalahan melakukan pemblokiran," kata Anggara di Kedai Tjikini, Jakarta Pusat, Selasa (31/3/2015).
Dia menambahkan apabila pemerintah ingin melakukan pemblokiran, harus tetap berdasarkan acuan undang-undang. Ia menilai Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif yang dijadikan dasar pemblokiran situs, tidak kuat.
"Apalagi, kan Permen tersebut sedang diuji di Mahkamah Agung, seharusnya Kominfo tidak menggunakan peraturan atau dasar hukum yang sedang diuji di MA sebagai dasar melakukan pemblokiran," Anggara menambahkan.
Di tempat yang sama, aliansi masyarakat sipil yang tergabung dalam Sahabat untuk Informasi dan Komunikasi yang Adil menuntut DPR dan pemerintah segera merombak UU Informasi dan Transaksi Elektronik menyusul maraknya pemblokiran situs secara sepihak.
Juru bicara aliansi, Murjaba Hamdu, menilai UU ITE banyak menjebak serta memonopoli infrastruktur informasi.
"SIKA menegaskan, UU ITE seharusnya tidak mengatur ketentuan pidana konvensional, seperti pidana kesusilaan, pencemaran nama baik,ancaman kekerasan, dan penyebaran kebencian berlatar SARA harus dikembalikan ke Kitab Undang-Undang Hukum Pidana," kata Mujtaba.