Suara.com - Presiden Joko Widodo mengatakan, klaim Cina atas sebagian besar kawasan Laut Cina Selatan tidak memiliki dasar hukum dalam undang-undang internasional. Pernyataan Presiden itu disampaikan dalam sebuah wawancara dengan surat kabar asal Jepang, Yomiuri, yang terbit pada Senin (23/3/2015).
Pandangan Jokowi itu disampaikan dalam rangkaian kunjungan kenegaraannya ke Jepang dan Cina. Untuk pertama kalinya pula sejak menjabat sebagai Presiden bulan Oktober lalu, Jokowi mengambil sikap dalam sengketa Laut Cina Selatan.
Sebagai informasi, Cina mengklaim 90 persen wilayah Laut Cina Selatan yang kaya akan minyak dan gas bumi. Tak hanya Cina, Brunei Darrussalam, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Taiwan, mengklaim kepemilikan atas sebagian wilayah tersebut.
"Kita membutuhkan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia-Pasifik. Amat penting untuk memiliki stabilitas politik dan keamanan untuk membangun pertumbuhan ekonomi kita," kata Jokowi seperti dikutip oleh Yomiuri.
"Jadi kami mendukung Kode Etik (tentang Laut Cina Selatan) dan juga dialog antara Cina dan Jepang, Cina dan ASEAN," sambungnya.
Namun, dalam surat kabar Yomiuri versi bahasa Jepang, Jokowi menentang salah satu klaim Cina atas Laut Cina Selatan.
"Sembilan 'garis putus-putus' yang dibuat Cina tidak punya dasar hukum pada undang-undang internasional," ujar Jokowi.
Jokowi tidak menyinggung semua klaim Cina atas Laut Cina Selatan, melainkan hanya sembilan garis putus-putus yang membatasi perairan di Asia Tenggara, demikian disampaikan Penasihat Jokowi bidang hubungan luar negeri Rizal Sukma.
"Pada tahun 2009, Indonesia mengirimkan sikap tegasnya terkait masalah ini kepada komisi tentang batas-batas landas kontinen, yang isinya menyatakan bahwa sembilan garis putus-putus tidak punya dasar hukum di undang-undang internasional," kata Sukma.
"Jadi, tidak ada yang berubah," tambahnya.
Sejauh ini, Indonesia mengajukan diri sebagai mediator dalam sengketa yang terjadi di antara Cina dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
"Tekad Indonesia sebagai mediator yang seimbang masih sama," kata Sukma.
Jokowi, dalam kunjungan perdananya ke Cina sebagai presiden, akan bertemu dengan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada hari Senin (23/3/2015). Dua menteri pertahanan dari kedua negara dijadwalkan akan menandatangani sebuah pakta pertahanan.
Penandatanganan ini dipandang sebagai salah satu upaya Jepang memperkuat ikatan kerja sama dengan Indonesia, sekaligus membangun kekuatan penyeimbang bagi Cina. (Reuters)