Suara.com - Dinas Pendidikan Jombang, Jawa Timur, akan menarik seluruh buku pelajaran Pendidikan Agam Islam dan Budi Pekerti untuk SMA kelas XI karya Mustahadi dan Mustakim terbitan Pusat Kurikulum Perbukuan, Balitbang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang memicu polemik karena di dalamnya dinilai mengandung materi ajaran berbau radikalisme.
"Secepatnya akan kami tarik," ujar Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Jombang, Muntholip, saat dihubungi suara.com, Senin (23/3/2015).
Muntholip mengatakan penarikan buku tersebut dilakukan setelah berkoordinasi dengan sejumlah pihak dan berlandaskan pada instruksi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Rencana penarikan buku diapresiasi Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Kabupaten Jombang, Aan Anshori.
Aan juga meminta dinas pendidikan untuk memberikan teguran keras kepada tim Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan tim penyusun buku.
Bupati Jombang juga diharapkan turun tangan dengan mengevaluasi kinerja dinas pendidikan.
Di masa mendatang, Aan berharap penyusunan materi buku pelajaran Agama Islam dan budi pekerti melibatkan seluruh stakeholder.
"Bagi saya hal terpenting yang tidak bisa ditawar dalam menyusun materi buku adalah selaras dengan Pancasila dan UUD 1945," kata Aan.
Seperti diketahui, buku tersebut ramai diperdebatkan karena adanya tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, penggagas aliran Wahabiyah.
Di halaman 78 buku, dijelaskan tentang pemikiran tokoh kelahiran Arab Saudi itu, di antaranya, boleh membunuh orang yang musyrik dan menyembah selain Allah SWT.
Selain itu, dijelaskan juga kalau menyebut nama nabi, syekh atau malaikat sebagai perantara doa juga dikatakan syirik. Hal yang sama juga berlaku kepada mereka yang meminta syafaat selain kepada Allah SWT.
Secara terpisah, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PPP Reni Marlinawati menilai setelah membaca buku tersebut, memang tampak sekilas ada bagian-bagian di dalam buku tersebut yang mengejutkan, khususnya di bagian "Islam Masa Modern."
Seperti di halaman 168 yang menjelaskan soal gerakan salaf dengan ciri, di antaranya "memerangi orang-orang yang menyimpang dari aqidah kaum salaf seperti kemusyrikan, khurafat, bida'ah, taqlid, dan tawassul." Di bagian lainnya, di halaman 170, yang menjelaskan tokoh-tokoh pembaharu dalam Islam yakni Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri kelompok wahabi) disebutkan pendapatnya di antaranya: "menyebut nama nabi, syekh, atau malaikat sebagai perantara dalam doa juga merupakan syirik."
"Isi buku di halaman 168 dan 170 sebenarnya menjelaskan soal ciri khas kelompok salaf dan pendapat Muhammad Abdul Wahab (pendiri wahabi). Memang, jika hanya membaca penggalan dari poin-poin tersebut seolah isi buku ini menganjurkan kekerasan dan sikap intoleran. Padahal, dalam hemat saya buku ini tidaklah menganjurkan hal tersebut. Bagian itu hanya mendeskripsikan ajaran dan paham dari kelompok itu. Karena di bagian lainnya, terdapat bab "Toleransi sebagai alat pemersatu bangsa," katanya.
Menurut Reni berlebihan bila buku ini disebut berisi ajaran ISIS. Reni menilai tudingan itu bersifat sensasional dan bermotif ngepop saja.
"Karena memang saat ini isu ISIS lagi booming. Sebaiknya, kita menghindari dari hal-hal yang membuat kegaduhan yang jauh dari hal-hal substanstif," kata Reni dalam pernyataan pers yang diterima suara.com.
Hanya saja, kata Reni, memang ada yang kurang dalam buku itu, khususnya di bagian "Islam Masa Modern." Bab ini, menurut dia, tampak kurang lengkap dengan tidak menampilkan tokoh-tokoh pembaharu Islam dari Indonesia di antaranya KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, Buya Hamka, M. Natsir, Nurcholis Madjid (Cak Nur) serta KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tokoh-tokoh Islam Indonesia tersebut terbukti pemikiran tentang keislaman telah memberikan kontribusi nyata dalam perkembangan Islam.
"Semestinya penulis buku tersebut menekankan pada sosok-sosok pemikir Islam Indonesia yang memang menyerukan pada pemahaman keislaman yang moderat, toleran dan bercirikan Islam Nusantara," kata Reni.
Ke depan, Reni meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam pembuatan buku-buku ajar agar memperhatikan aspek keindonesiaan serta menghindari dari hal-hal yang menimbulkan polemik di tengah publik. (Yovie Wicaksono)