Suara.com - Gagasan fraksi threshold atau pembatasan fraksi bukan hal yang baru di Indonesia. Awalnya, fraksi threshold sebagai sebuah sistem parlemen muncul bersamaan dengan gagasan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen.
“Konsep fraksi threshold itu dulu sempat jadi pembahasan berbarengan dengan PT,” kata Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat DPR Viktor Laiskodat dalam pernyataan pers yang diterima suara.com, Jumat (20/3/2015).
Perkembangannya, ungkap Viktor, parliamentary threshold kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 dan diberlakukan pada pemilu 2009. Sedangkan fraksi threshold mati suri. Hanya saja kemunculan wacana fraksi threshold kala itu, diakui Viktor disebabkan banyaknya partai gurem di parlemen dengan jumlah kursi yang kecil dan dianggap tidak signifikan untuk membuat fraksi sendiri sehingga situasi itu dinilai tidak efektif bagi parlemen sebagai lembaga tinggi negara. Karena fraksi threshold, lanjutnya, partai gurem di parlemen itu akan terdorong untuk bergabung ke partai yang punya jumlah kursi signifikan.
“Jadi semangatnya sama dengan PT,” katanya.
Sehari sebelumnya, Viktor sempat melempar wacana fraksi threshold tersebut di acara debat Indonesia Lawyer Club TV One yang berjudul: Koalisi Merah Putih digembosi? Istilah fraksi threshold muncul terselip di antara rangkaian pendapat yang disampaikan Viktor mewakili Partai Nasdem di acara Karni Ilyas itu.
Namun, tak banyak penjelasan selanjutnya yang disampaikan Viktor terkait istilah tersebut. Selain hanya mengasosiasikan fraksi threshold terhadap polarisasi antara kubu Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat di parlemen. Viktor kemudian menyebut hubungan KMP dan KIH sebagai situasi tarik menarik politik. Ia juga sempat mengemukakan pandangannya bahwa dinamika itu justru menarik untuk pendewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi.
Punya semangat yang sama dengan parliamentary threshold, sambung Viktor, gagasan fraksi threshold muncul dalam rangka rasionalisasi dan meningkatkan kinerja serta kualitas partai-partai di parlemen. Sementara, dinamika politik yang berkembang sekarang ini di parlemen mengarah kepada menguatnya potensi fraksi threshold.
Viktor menjelaskan jika fraksi di parlemen mengerucut menjadi dua fraksi yang boleh jadi direpresentasikan oleh KMP dan KIH seperti sekarang ini, maka tipologi opsi hanya ada dua di rapat paripurna. Dan usulan yang keluar dari dua fraksi itu pun cenderung sudah bulat. Proses pengambilan keputusan pun bakal lebih efesien, karena mempersempit ruang manuver politik yang memungkinkan politik transaksional terjadi.
Dengan dinamika politik yang berkembang sekarang, kata Viktor, fraksi threshold juga bisa diartikan menjadi sistem parlemen yang terbagi menjadi dua, ‘fraksi pemerintah’ atau ‘fraksi oposisi’.
"Di negara demokrasi maju dan telah established, sistem parlemen hanya dibagi 2, yaitu pemerintah dan oposisi. Mana kubu yang memerintah, mana yang oposisi. Pengelompokannya saja yang diperbesar. Nantinya bisa dikaji lagi apa yang dioposisikan. Kebijakannya kah? Atau apanya?" katanya.
Selain itu, Viktor menambahkan keefektifan parlemen dengan fraksi threshold atau sistem parlemen dua fraksi misalnya, juga sudah teruji. Dengan membaginya secara lebih tegas menjadi dua unsur dapat memperkuat lembaga tersebut.
“Yang kita khawatirkan itu, ada potensi melemahkan negara dengan menyandera kebijakan. Sebuah kebijakan tersandera oleh 1 atau lebih fraksi yang tidak setuju lalu walk out,” kata Viktor.
Nah, saat ini menurut Viktor, secara de facto amat terasa kalau ada dua kubu yang bertarung di parlemen, walaupun secara formal dalam pengambilan keputusan tidak membahasakan atas nama kubu KMP dan KIH.
Viktor mencontohkan pemilihan Ketua DPR RI tempo hari, aroma pertarungan dua kubu KIH dan KMP sangat terasa dengan ditandai hanya dua kandidat yang muncul. Termasuk juga soal Alat Kelengkapan di DPR RI.
“Kalau fraksi threshold dilegal-formalkan, kondisi materialnya cukup mendukung, kenapa tidak? Buat saya ini menarik,” kata Viktor.
Lagipula, lanjut Viktor, sampai sekarang nama KIH dan KMP masih saja disebut-sebut bahkan dikait-kaitkan dengan proses politik yang tak hanya di parlemen, tapi juga konflik di luar parlemen (Kisruh Golkar & PPP, red).
“Ya kayak acara ILC kemaren, judulnya aja masih pakai istilah KMP,” kata Viktor.
Tapi kalau soal kemungkinan partai di Indonesia bakal tetap lebih dari dua atau tiga partai, sebut Viktor, itu masalah cerminan dari kemajemukan dari negeri ini.
“Ya, gak bisa dibayangkan pula sama dengan negara luar, seperti Amerika Serikat, yang juga punya corak sistem pembagian dua unsur dominan tersebut. Jadi fraksi threshold bukan malah mendorong fusi partai. Itu beda,” katanya.
Lebih jauh, Viktor menyebutkan gagasan fraksi threshold dulu juga pernah diusulkan dalam bentuk tiga fraksi saja di parlemen. Ketiga fraksi itu adalah fraksi pemerintah, non pemerintah dan independen. Sedangkan fraksi indenpenden dimaksudkan untuk mengakomodasi kelompok yang memilih bersikap “abu-abu.”
“Intinya, kita ingin mempersempit ruang politik transaksional sehingga kebijakan tidak bisa tersandera oleh kepentingan yang berjangka pendek, itu saja,” kata dia.