Suara.com - Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan tidak mau mencabut laporan kasus dugaan pencemaran nama baiknya, meski Gubernur Gorontalo Rusli Habibie telah minta maaf secara terbuka.
"Saya sudah maafkan, tetapi tidak mencabut laporan," kata Budi Waseso di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (20/3/2015).
Dia mengaku sudah bertemu dengan Rusli di Istana Negara beberapa waktu yang lalu dan ketika itu Rusli menyampaikan permohonan maaf secara langsung.
"Kemarin jumpa sama saya di Istana, beliau sampaikan itu (permohonan maaf) kepada saya. Tetapi pertanggungjawaban secara hukum harus tetap jalan," ujarnya.
Kendati tidak mau mencabut laporan, Budi menolak disebut dendam. Menurutnya, langkah hukum yang ia lakukan merupakan bagian dari proses penegakan hukum. Sebab, lanjutnya, ia sudah hampir dua tahun melaporkan kasus pencemaran namanya itu, yakni sejak 2013.
"Tidak (dendam), saya bukan pendendam. Saya hanya menegakkan hukum," kata mantan Kapolda Gorontalo.
Menurut dia, seharusnya kasus itu gampang ditangani, sebulan saja bisa selesai. Namun, selama ini kasusnya menggantung dan baru bisa dirampungkan hingga naik ke tahap penuntutan setelah Budi menjabat sebagai Kabareskrim Polri.
"Kasus ini mudah, sebulan bisa selesai, tapi baru sekarang bisa di P21 (naik tahap penuntutan). Itu pun menunggu saya jadi Kabareskrim. Saya ingin buka keran, siapapun harus bertanggung jawab, tanpa lihat profesi," katanya.
Budi mengatakan kasus itu bermula ketika dia menjabat sebagai Kapolda Gorontalo. Ketika itu, Budi jarang ikut rapat dengan pemerintah daerah dan dia disinyalir terlibat politik daerah dengan mendukung salah satu calon kepada daerah dalam Pilkada Gorontalo. Karena itu, Rusli selaku gubernur melaporkan Budi ke Kapolri dan Menkopolhukam diera itu, masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Atas laporan Rusli itu, Budi dimutasi dari Gorontalo ke Mabes Polri.
"Salah satu dampaknya itu (dimutasi)," katanya.
Atas laporan Budi, Rusli dijerat dengan Pasal 317 ayat (1) dan (2) subsider Pasal 311 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 316 KUHP, dengan ancaman maksimal empat tahun penjara.