Suara.com - Seorang perempuan berparas cantik dan berkulit putih itu jalan perlahan menaiki tangga. Di belakangnya, ada lelaki berbadan besar mengikutinya sambil berpegangan tangan. Aris, nama lelaki itu memegang lengan Sarah. Sarah menunjukkan kursi empuk yang akan mereka duduki untuk menonton film 'Love and Faith'.
Pertunjukkan dimulai, Sarah bergeser duduk lebih dekat dengan Aris. Ujung bibirnya mendekati telinga Aris. Dia berbisik sesuatu, suaranya tak terdengar.
Ruangan Bioskop Blitzmegaplex di Pacific Place, Jakarta, Rabu (18/3/2015) siang kemarin sama seperti hari biasanya, sangat ramai. Namun bedanya yang akan menonton film adalah para tuna netra atau orang berkebutuhan khusus yang tidak bisa melihat.
Aris adalah tuna netra, dan Sarah seorang relawan 'Bioskop Berbisik'. Bioskop berbisik ini sebutan untuk cara menonton bioskop yang diperuntukan untuk orang tak tidak bisa melihat. Tuna netra 'menonton' bioskop dengan telinganya.
Makanya, selama film diputar Sarah berbisik memberi tahu deskripsi adegan saat scine atau potongan adegan dalam keadaan sunyi ke Aris. Itu adalah pengalaman baru untuk Sarah.
"Kan tadi breafing dikasih tahu. Jelasin film saat nggak ada dialog. Tapi dia aktif tanya, jadi dia lebih gampang," jelas perempuan berambut pirang itu.
Menurut Sarah tidak sulit melakukannya. Namun menurutnya butuh keterampilan dalam menyampaikan kalimat agar si tuna netra bisa memahami maksud yang disampaikan. Paling sulit, lanjut Sarah menjelaskan emosi aktor.
"Misal ada adegan Rio Dewanto (pemeran utama film) yang berekspresi gila. Aku bingung, bagaimana jelasin ekspresi gila itu. Yah aku bilang aja gila," kata dia seraya tertawa.
Beruntung Aris mengerti, dia pun bersyukur bisa mendapakan partner yang bisa mendeskripsikan dengan baik seperti Sarah. Sebab menonton bioskop dengan jelas, baru Aris alami hari ini.
"Ini yang pertama. Sarah jelas banget penyampaian deskripsinya," puji Aris dibalas senyum Sarah.
Aris cerita selama 25 tahun tidak bisa melihat, dia ingin sekali menonton bioskop. Di masa kecil, keluarganya sering mengajak notnon. Namun Aris hanya bisa mendengar jelas suara bioskop, tidak dijelaskan deskrispi filmnya.
"Yang saya mau itu deskripsi. Misal dulu nontonn film 'Daun di Atas Bantal' sama keluarga. Keluarga yah asik sendiri aja. Saya juga nggak bisa tanya pas nggak ada suara, aktornya lagi apa. Nggak ada yang mau ngomong," cerita Aris.
Aris mengalami kebutaan sejak usia 4 tahun. Penyakit glaukoma menyerang matanya. Glaukoma ini akibat tekanan tinggi pada daerah dalam bola mata.
Aris membayangkan keluarga atau temannya bersedia bertindak sebagai pendeskripsi saat dia menonton film. "Aku rasa nggak sulit, Sarah saja yang baru, bisa melakukannya," harap Aris.
Mengimpikan 'Bioskop Bisik' di Indonesia
Bioskop bisik bukan hanya sekadar ungkapan, namun benar-benar ada. Pengurus LSM pengembangan khusus tuna netra, Mitra Netra Aria Indrawati pernah merasakannya di Australia.
Kata dia, bioskop itu sama seperti bioskop pada umumnya. Merlayar lebar, memiliki sistem pengeras suara sempurna dan tempat duduk yang nyaman. Namun bedanya, di setiap kursi disediakan earphone. Earphone itu akan mengeluarkan suara yang penjelasan tentang detil adegan film ketika dalam keadaan sunyi atau hanya ada gambar.
Bioskop yang sama juga ada di Malaysia. Pertengahan Januari 2015 lalu Malaysia meluncurkan bioskop khusus tuna netra. Bioskop juga dilengkapi dengan sistem audio yang menjelaskan tentang adegan atau pergerakan dalam film tersebut. Bioskop itu menjadi yang pertama di Asia Tenggara.
Indrawati mengatakan konsep bioskop bisik itu ada sejak tahun 2007. Namun disempurnakan dengan bantuan teknologi sejak tahun lalu dengan menggunakan transmiter yang biasa digunakan untuk penerjebah bahasa. Kemudian diaplikasikan di sebuah bioskop umum.
Namun tanpa teknologi deskripsi audio, bioskop bisik ini bisa diterapkan secara manual. Ini juga bisa diterapkan di lingkungan
keluarga dan lingkungan pertemanan.
"Misal nonton 'Laskar Pelagi', itu diawali dengan anak-anak yang lari. Belum ada dialog yah. Nah di sana bisa dijelaskan dengan bisikin ke tuna netra, kalau ada anak-anak lari dan sebagainya. Begitu ada dialog, tidak perlu dijelaskan. Kecuali ada hal yang perlu dijelaskan seperti keadaan pemandangan atau situasi aktor lagi kedinginan atau kepanasan," papar Indriwati.
Ayo ajak anak tuna netra nonton bioskop
Kata Indrawati, tuna netra di Indonesia berjumlah 3,7 juta orang, atau 1,5 persen dari 250 juta jumlah penduduk Indonesia. Itu data perkiraan Kementerian Kesehatan.
"Mereka tidak mendapatkan fasilitas penunjang seperti orang pada umumnya," kata perempuan yang juga tuna netra itu.
Dari jumlah tuna netra tersebut, hampir setengahnya adalah anak-anak atau remaja. Kebanyakan mereka juga tidak bisa merasakan kehidupan 'normal' seperti anak-anak lainnya.
"Makanya saya selalu katakan, ayo kalau punya anak tuna netra jangan disimpan saja di rumah. Diajak dong ke pasar, pantai, ajak jalan pagi, ke car free day. Sehingga dia bisa menikmati kehidupan ini sama dengan orang yang tidak tuna netra. Sehingga masyarakat ini terbiasa melihat tuna netra dan tahu bagaimana cara memperlakukannya," papar Indriwati.
"Ajak juga anakmu nonton film. Begini lho cara membawa anakmu nonton film. Sehingga dia (anak-anak) bisa tumbuh seperti anak-anak pada umumnya," jelas dia.