Suara.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan anak-anak yang baru beranjak besar atau ABG potensial untuk terseret menjadi pelaku pembegalan. Itu karena pengaruh lingkungan. Itu berdasarkan data KPAI yang mencatat rata-rata pelaku pembegalan adalah anak-anak di usia sekolah.
Komisioner KPAI, Susanto mengatakan anak-anak dengan kondisi psikologis labil, rentan menjadi calon pembegal. Terlebih mereka juga dipengaruhi lingkungan pergaulan.
"Anak yang labil, potensial menjadi pembegal karena pengaruh lingkungannya. Teman sebayanya terbiasa melakukan kekerasan lalu karena diajak dia jadi ikut-ikutan melakukan begal," kata Susanto di Jakarta.
Selain itu anak-anak yang terbiasa berpikir instan atau jangka pendek juga cenderung melakukan sesuatu yang melanggar hukum. Itu dilakukan demi memuaskan keinginannya.
"Cara berpikir ini juga sangat dipengaruhi oleh pola pembelajaran yang dia terima di sekolah ataupun di keluarga," imbuhnya.
Maka itu, menurut Susanto perlu pendekatan khusus agar anak-anak tidak menjadi calon pembegal. Pendekatan inin bukan hanya dilakukan dengan orangtua. melainkan lingkungan keluarga itu sendiri.
Sementara di luar keluarga, pemerintah perlu fokus menyusun pendidikan kurikulum di sekolah. Kata dia, pemerintah harus memastikan bahwa orangtua memberi pengasuhan yang ramah anak dan berkarakter.
"Kalau di sistem pendidikan dasarnya sudah tidak tepat maka perilaku-perilaku yang tidak diinginkan bisa diadopsi anak," papar dia.
Faktor pemicu jadi pembegal
Berdasarkan hasil kajian KPAI, pemicu anak-anak usia sekolah turut menjadi begal sangat beragam. Faktor pertama yang memicu adalah pengaruh teman sebaya.
"Mereka umumnya menjadi pelaku begal karena dipicu keisengan dan kohesi dengan pertemanan," kata Susanto.
Faktor kedua yang mendasari adalah disfungsi keluarga pelaku. Setelah ditelusuri, KPAI menemukan bahwa pelaku adalah korban dari pola asuh yang tidak mendukung perkembangannya di usia anak-anak. Selain itu, bullying yang pernah diterima pelaku juga memberi dampak munculnya tindakan kekerasan yang dilakukannya di kemudian hari.
"Dampak dari bullying itu cukup sistemik. Apalagi kalau bullying-nya itu dalam bentuk verbal atau psikis, itu bisa membekas lama. Bila kondisi psikisnya tidak nyaman atau labil, apapun materi yang masuk ke dia akan menjadi masalah. Kalau misalnya dia didoktrin untuk melakukan begal, itu akan semakin rentan," imbuhnya.
Lainnya, dampak dari tontonan kekerasan, menurut Susanto, juga turut berkontribusi memicu anak-anak menjadi pelaku pembegalan hingga berani menghilangkan nyawa seseorang. Totonan itu bisa dari acara TV maupun permainan video games.
"Mereka permisif terhadap kekerasan. Kalaupun tidak jadi pelaku, mereka bisa saja menganggap wajar sebuah kekerasan," kata Susanto.
BERITA MENARIK LAINNYA:
Ibunda Benarkan Video Bugil Chelsea Islan
Perlakuan Keji di Lokasi Jatuhnya MH17 Terekam Kamera
Ditinggal 'Umrah' Darius, Donna Agnesia Kesepian