Suara.com - Pertandingan baru usai satu jam lalu, tetapi Christopher Rungkat sudah kembali ke lapangan untuk memberikan dukungan kepada rekannya Sunu Wahyu Trijadi yang bermain di nomor tunggal kedua Piala Davis di Palembang, Jumat (7/3/2015).
Gurat kelelahan sama sekali tidak terpancar dari wajah petenis peringkat pertama Indonesia dan 582 Asosiasi Tenis Profesional (ATP) meskipun harus bertanding dalam waktu 2 jam 10 menit untuk menyudahi petenis Iran Shahin Khaledan dengan tiga set langsung.
"Jika ditanya apakah lelah, jelas karena ini adalah pertandingan. Ada tekanan tersendiri yang sangat berbeda dibandingkan latihan. Akan tetapi, dalam setahun terakhir, saya sudah fokus pada latihan daya tahan," kata Christopher yang dijumpai di pinggir lapangan utama Stadion Tenis Bukit Asam, Kompleks Olahraga Jakabaring, Palembang.
Pascapulih dari cedera pinggang yang membekap selama delapan bulan pada pertengahan 2014, Christo--sapaan akrabnya--sudah membulatkan tekad untuk berkutat kembali di jalur profesional yang telah dipilih sejak 2009.
Kini, Christo telah memperbaiki peringkat ATP-nya menjadi 582 dunia setelah sempat terlempar ke posisi 10.000 dunia akibat cedera.
"Sebelum cedera, saya masuk 240 dunia. Akan tetapi, karena cedera, jadi terlempar ke peringkat 10.000 dunia. Target saya, akhir tahun sudah masuk 250 dunia karena sebelum Asian Games 2018 berharap sudah masuk 100 dunia," ujar petenis kelahiran Jakarta, 14 Januari 1990 ini.
Tidak Mudah Menurut petenis 25 tahun ini, menembus persaingan tenis profesional bukan perkara mudah saat ini. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang olahraga, sejatinya seorang atlet tidak lagi dinilai sebatas bakat, tetapi secara keseluruhan.
Seorang atlet profesional, bukan hanya dituntut piawai di lapangan, melainkan juga pandai dalam mengelola kehidupan di dunia nyata agar bisa berkarier hingga di atas usia 30 tahun, mencapai performa terbaik sesuai dengan target, serta memiliki jaminan finansial yang cukup setelah memutuskan pensiun.
Di sisi lain, menurut Christo, dirinya tidak bisa menutup mata atas ketertinggalan Indonesia di bidang iptek olahraga itu, kekurangan finansial, hingga minimnya kompetisi nasional yang berkualitas.
"Dahulu, ketika tahun 80-an, seorang petenis bisa hanya bermodalkan bakat, kemampuan teknik, dan fisik yang kuat untuk menebus persaingan dunia. Kini, cara seperti itu tidak bisa dipakai lagi karena tenis sudah masuk era modern, semua petenis berjuang untuk melipatgandakan keunggulan melalui ilmu pengetahuan," kata Christo.