Dikuatkan Iman, Raheem Salami Tak Ingin Tutup Mata Saat Eksekusi

Ruben Setiawan Suara.Com
Minggu, 08 Maret 2015 | 00:19 WIB
Dikuatkan Iman, Raheem Salami Tak Ingin Tutup Mata Saat Eksekusi
Ilustrasi narapidana dalam penjara. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tidak banyak yang tahu dengan sosok terpidana mati kasus narkoba Raheem Agbaje Salami. Keberadaanya tenggelam dalam dinginnya jeruji besi penjara di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas).

Raheem Agbaje Salami pernah berada di Lapas Medaeng, Lapas Malang, Lapas Kalisosok, Lapas Porong, dan terakhir Lapas Madiun selama hampir 17 tahun.

Bahkan, saking tenggelamnya, tidak banyak yang tahu dengan rupa atau wajah dari pria asal Nigeria tersebut. Sejumlah media berusaha memasang gambar wajahnya di sela pemberitaan tentangnya. Namun, relatif banyak yang salah memasang wajah orang lain karena memang selama ini sosok Raheem tidak pernah terekspos.

Namanya mulai disebut-sebut sejak Presiden RI Joko Widodo menolak permohonan grasinya pada awal Januari 2015. Dia merupakan satu dari 10 terpidana mati yang akan segera menjalani eksekusi dalam waktu dekat.

Berdasarkan penuturan Raheem melalui Bapak Baptisnya, Titus Tri Wibowo, Raheem Agbaje Salami bukanlah nama yang sebenarnya. Raheem sejatinya memiliki nama Jamiu Owolabi Abashin, lahir di Kota Lagos, Nigeria, 26 April 1974.

Raheem Agbaje Salami adalah nama yang tertulis di paspor keluaran negara Cordova, Pantai Gading, saat memasuki Indonesia pada tahun 1997. Namun, petugas yang menangkapnya, mengira yang bersangkutan berasal dari Cordoba, Spanyol.

"Dia ingin mengubah hidupnya keluar dari kemiskinan dengan bekerja di luar negeri pada tahun 1994, tujuannya adalah Kanada. Akan tetapi, karena suatu hal dia bekerja terlebih dahulu ke Malaysia. Namun, di Malaysia, dia ditelantarkan hingga paspornya habis dan dideportasi, lalu ke Thailand pada tahun 1997," ujar Titus.

Di Thailand, dia diberi pekerjaan oleh orang asal Zimbabwe untuk mengantar barang berupa pakaian, sepatu, dan aksesoris khusus wanita ke Indonesia dengan upah 400 dolar Amerika Serikat. Oleh orang Zimbabwe tersebut, dia dibuatkan paspor atas nama Raheem Agbaje Salami.

Setiba di Indonesia (melalui Bandara Juanda), dia ditangkap petugas karena tas yang dibawanya terdapat heroin seberat 5 kg. Lalu, dia dipidana pada tahun 1999 dengan vonis hukuman mati.

Titus menceritakan bahwa Raheem adalah sosok yang baik dan taat beribadah. Setelah dipindah dari Lapas Porong, Sidoarjo ke Lapas Madiun pada tahun 2007, dia aktif dengan kegiatan keagamaan di lapas setempat.

Keaktifannya di kegiatan keagamaan membuat dia memiliki hubungan yang dekat dengan tim rohaniwan dari Gereja Santo Cornelius Madiun yang sering melakukan pendampingan. Bahkan, pria kelahiran Nigeria tersebut juga dibaptis oleh pastor dari gereja tersebut pada tanggal 14 April 2009.

"Dia dibaptis dengan nama Stephanus sehingga namanya menjadi Stephanus Jamiu Owolabi Abashin. Dia lebih suka dipanggil Steven. Namun, di dalam lapas, dia terkenal dengan panggilan Man. Saya pun ikut memanggil dengan sebutan itu," kata Titus.

Selama di Lapas Madiun, Raheem juga banyak membantu teman-teman penghuni lapas. Bahkan, sejak pindah ke Lapas Madiun hingga akhirnya dibawa ke Lapas Nusakambangan, Raheem tercatat oleh petugas setempat memiliki kelakuan yang relatif sangat baik.

"Dia menyesal atas perbuatan yang dilakukannya pada 17 tahun silam. Dia juga mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada bangsa Indonesia dan seluruh rakyatnya. Itu semua ditulis dalam surat terakhir yang ditujukan kepada tim eksekutor di Lapas Nusambangan," katanya.

Titus menambahkan bahwa sebagai Bapak Baptis sekaligus pendamping rohani Raheem, dirinya sering membesarkan hati Raheem. Bahkan, saat mendengar eksekusi pidana mati yang pertama, Raheem sempat resah.

"Ia sempat resah dan takut setelah mendengar eksekusi mati tahap pertama. Lalu, saya bertanya kepada Raheem, 'bukankah kamu bilang hidup mati ada di tangan Tuhan?' Dengan saya bertanya seperti itu, dia kembali mengingat Tuhan dan berusaha tegar menghadapi eksekusi," tuturnya.

Dalam surat wasiatnya, Raheem juga berharap agar eksekusi terhadap dirinya menjadi eksekusi mati yang terakhir di Indonesia karena soal hidup dan mati manusia adalah kewenangan Tuhan. Hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa manusia.

Ia juga menyebutkan tiga permintaan terakhirnya, yakni diizinkan untuk menelepon keluarganya di Nigeria, ingin menyumbangkan organ tubuhnya, seperti kornea, ginjal, dan lainnya untuk kemanusiaan bagi yang memerlukan.

Raheem meminta jaksa pelaksana eksekusi untuk menyerahkan jenazahnya pada Pastoran Gejera St. Cornelius Madiun CQ Romo Fusi Nusantoro untuk merawat dan memakamkannya secara Katolik di Pemakaman Umum Serayu Kota Madiun.

Gugatan ke PTUN Upaya lolos dari hukuman mati terus dilakukan oleh Stephanus Jamiu Owolabi Abashin. Melalui penasihat hukumnya, Utomo Karim, dia mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas keputusan presiden yang menolak grasinya.

Penasihat hukum terpidana mati Raheem, Utomo Karim, mengatakan bahwa gugatan PTUN itu dilayangkan karena pihaknya menilai keputusan presiden yang menolak grasi pada awal 2015 adalah tidak sah demi hukum.

"Hal itu mengacu pada Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002," kata Utomo Karim Ia menjelaskan bahwa kliennya Raheem mengajukan grasi pada bulan September 2008. Saat itu berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002. Ketika ada perubahan undang-undang tersebut pada tahun 2010, terdapat Pasal 15 A Ayat (1) yang intinya menyebutkan permohonan grasi yang belum diselesaikan berdasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 harus diselesaikan paling lambat 22 Oktober 2012.

Kenyataannya, presiden baru menyatakan menolak grasi tersebut pada awal 2015. Oleh karena itu, dia menganggap bahwa penolakan grasi yang dikeluarkan presiden itu tidak sah.

"Oleh sebab itu, klien saya mengajukan gugatan ke PTUN. Sidang perdana akan digelar di Jakarta, 9 Maret 2015," terangnya.

Selain menilai penolakan grasi tidak sah, dia juga meminta agar eksekusi mati terhadap kliennya yang saat ini sudah berada di Lapas Nusakambangan ditangguhkan terlebih dahulu.

"Saya sangat berharap tim eksekutor untuk menghormati proses hukum yang masih berlangsung. Jangan sampai nanti gugatannya menang, tetapi orangnya sudah di-'dor'. Meski sebagai terpidana, yang bersangkutan tetap memiliki hak-haknya," kata Karim.

Hal lain yang membuatnya yakin mengajukan gugatan adalah selama menjalani hukuman 17 tahun di penjara, kliennya selalu berkelakuan baik. Raheem juga sadar bahwa perbuatannya melanggar hukum di Indonesia. Oleh karena itu, dia memohon maaf kepada bangsa Indonesia.

Dalam permohonan gugatan tersebut, Raheem juga menginginkan Presiden dan pengadilan mengubah hukumannya dari hukuman mati menjadi pidana penjara 20 tahun, sesuai dengan vonis di persidangan tingkat pertama.

Permohonan penggantian hukuman itu juga dikuatkan dengan penilaian Bapas yang mendukung usulan perubahan pidana hukuman mati menjadi pidana sementara.

Orang terdekat Raheem selama menjalani hukuman di Lapas Madiun, Titus Tri Wibowo, juga menyatakan hal yang sama. Raheem berharap ada mukjizat dari Tuhan bahwa dirinya akan lolos dari hukuman mati. Dia terima apabila hukuman matinya diganti dengan hukuman seumur hidup. Dia juga terus berupaya untuk berkelakuan baik selama menjalani masa hukuman.

"Saya mengatakan ini bukan berarti membela narkotika. Namun, membela orang yang sudah 17 tahun menjalani hukumannya dan berubah serta berguna bagi orang lain," kata Titus.

Meski demikian, kepada Titus, Raheem mengaku siap menghadapi eksekusi mati tersebut. Dia yakin sebab iman akan menguatkannya sehingga tidak takut eksekusi. Bahkan, apabila diizinkan, Raheem ingin menjalani hukuman mati tanpa harus ditutup matanya sambil berdoa.

Seperti diketahui, Stephanus Jamiu Owolabi Abashin ditangkap di Bandara Juanda pada tahun 1997 karena kedapatan membawa 5,2 kilogram heroin. Dia masuk ke Indonesia dengan paspor Cordova atas nama Raheem Agbaje Salami.

Warga Nigeria itu lalu diproses hukum dan langsung divonis hukuman mati pada tahun 1999. Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, dia mengajukan grasi pada bulan September 2008. Jawaban grasi tersebut baru turun tujuh tahun kemudian dan isinya ditolak. Kini, dia sedang berada di Lapas Nusakambangan guna menanti eksekusi mati bersama sejumlah terpidana mati kasus narkoba lainnya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI