Bahkan ada yang membangun portal di jalan alternatif menuju jalur Puncak itu.
"Kalau tidak dikasih mereka tutup portal, kita tidak boleh lewat," kata Bima lagi.
Tidak jauh dari Jalan Raya Puncak, ada dua tikungan yang harus dilewati, karena kehabisan uang receh Bima memberikan Rp5.000 untuk dua titik pungutan yang dilakukan warga.
"Mau tidak mau dari pada mobil kita dibarit, terpaksa ikhlas ngasih," katanya.
Bima mengaku resah dengan praktik pungutan liar yang dilakukan warga di jalur alternatif menuju Jalan Raya Puncak itu.
Hanya untuk melintasi jalan sepanjang kurang lebih 5 Km dalam waktu sekitar 30 menit, ia harus merogoh kocek membayar warga yang menghadang di pinggir jalan, Menurut Bima lebih lanjut, meski mobil yang dikendarainya bernomor polisi F (Bogor), dan ia juga warga Bogor tetap dimintai uang oleh warga.
Jika warga luar yang menggunakan jalur alternatif tanpa pesiapan uang recehan akan lebih dipersulit lagi dan harus mengeluarkan uang lebih banyak hanya untuk membayar pungutan liar yang dilakukan warga.
"Ke mana pergi kepala desa, RT, RW, dan kepolisian. Kenapa pemerintah daerah membiarkan begitu saja," kata Bima tegas.
Ia mengatakan pula, jika hampir setiap akhir pekan diberlakukan one way di Jalan Raya Puncak selama dua sampai tiga jam. Dan jika yang melintas lebih 20 mobil, bisa dibayangkan pendapatan yang diperoleh warga lewat pungutan liar tersebut.
"Itu warga ada yang main peersoerangan, ada juga yang berkelompok, satu kelompok bisa tiga sampai empat orang," kata Bima. (Antara)