Suara.com - Konflik yang membelit Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan DPRD DKI Jakarta terkait APBD DKI 2015 masih belum menemukan titik temu. Padahal, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sudah mencoba melakukan mediasi terhadap kedua belah pihak.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PPP Abraham Lunggana atau Lulung mengatakan apa yang dilakukan Ahok saat ini merupakan pencitraan di ranah hukum jilid II.
"Pejabat publik yang membuat pencitraan di ranah hukum, katakanlah Gubernur DKI Jakarta (Ahok). Ini pencitraan jilid II," ujar Lulung dalam diskusi bertema "Deadlock Ahok" di Double Tree, Jalan Pegangsaan Timur No.17 Cikini, Sabtu (7/3/2015).
Pertama, kata Lulung, saat Ahok mempermasalahkan perancangan undang-undang yang mengatur mengenai Pilkada langsung, lalu dia memilih hengkang dari Partai Gerindra karena alasan memiliki sikap politik berbeda. Padahal partai ini yang mengusungnya sebagai Wagub DKI pada Pilgub DKI 2012 itu.
"Dulu dia keluar (dari Partai Gerindra), itu juga pencitraan hukum. Hari ini dia membuat pencitran kembali bahwa dia menabrak Undang-Undang proses dari pada hasil APBD," katanya.
"Pertama persoalan hukum, dua persoalan cacat administratif dan yang ketiga persoalan politik," lanjut Lulung.
Kisruh Ahok dan DPRD dipicu oleh temuan dugaan adanya dana siluman di APBD 2015 dengan senilai Rp12,1 triliun. Ahok telah melaporkan temuan mengejutkan di APBD 2015 dan temuan di APBD tahun 2014 ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ahok dinilai menerabas aturan karena tak mengajukan draf yang telah disahkan DPRD ke Kementerian Dalam Negeri, tapi malah mengirimkan draf rancangan APBD versi pemerintah dengan sistem e-budgeting ke kementerian.
DPRD beranggapan format tersebut melanggar prosedur karena berbeda dengan yang disahkan dalam rapat paripurna dewan pada 27 Januari 2015. Ujungnya, dewan menggunakan hak angket untuk menyelidiki perbedaan ini.