Suara.com - Sebanyak 20 ribu pengungsi perang saudara di Suriah hidup dalam keprihatinan di Turki. Nasib mereka terkatung-katung, tidak mempunyai tempat tinggal, menganggur, dan sangat miskin. Parahnya, banyak anak-anak di sana.
Keriput Fatimah begitu jelas terlihat. Di hari tuanya, perempuan 80 tahun itu hanya bisa meratapi bentangan tenda pengungsian di perbatasan Turki. Rumahnya di Suriah terbakar akhir bulan lalu. Pelakunya adalah kelompok radikal ISIS.
ISIS membakar rumahnya dengan menggunakan solar di mesin diesel-nya. Api begitu cepat menjalar karena kebanyakan isi rumahnya hanya plastik dan kayu. Dia mengalami luka bakar akibat itu.
"Mereka mencampurnya dengan hal-hal lain," kata Fatimah dengan wajah penuh emosi.
Bab al Salama juga seorang pengungsi. Setelah 5 tahun mengungsi, dia merasa sudah menjadi warga negara lain. Kamp pengungsian yang dia duduki sudah seperti menjadi tempat tinggal permanen. Banyak warga Suriah yang tinggal di perbatasan Turki yang bersuhu rendah itu.
Kata dia, justru dingin menjadi ancaman. Bayangkan saja, sebanyak 20 ribu penduduk yang terbiasa dengan udara panas harus beradaptasi dengan cepat. Lalu bagaimana dengan anak-anak? Begitu dia bicara dengan bingung.
Bukan hanya dingin, banjir juga mengancam. Jika hujan, air akan menggenangi pengungsian. Sejak 5 tahun pengungsian dibangun, banyak anak-anak yang terkena infeksi kulit dan demam tinggi. Banyak yang tidak bertahan, dan akhirnya meninggal.
Anak asli pengungsian Suriah
Potret 'anak asli pengungsi' adalah Fadel. Anak 2 tahun itu lahir di pengungsian Suriah di perbatasan Turki. Dia terlihat lucu. Tanpa mengenakan celana, dia berjalan di air keruh. Sekarang Fadel masih sehat, tapi tidak tahu nanti.
Kepala Kamp Pengungsian Suriah, Mohammed Kelani mengatakan sudah ada 6 orang meninggal kedinginan selama Febuari kemarin. Mereka terdiri dari 2 perempuan dan 4 anak-anak.