Suara.com - Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Wali Kota dan Bupati didugat ke Mahkamah Konstitusi. Ada 3 orang yang menggugatnya.
"UU a quo dilahirkan tanpa memenuhi syarat kegentingan memaksa yang disyaratkan Pasal 22 UUD 1945," ujar salah satu Pemohon bernama Heriyanto di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (4/3/2015).
Selain Heriyanto, dua Pemohon lain adalah Yanda Zaihifni Ishak dan Ramdansyah. Mereka menilai UU Pilkada ini cacat formil. Sebab tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa.
Ketiganya meyakini pada dasarnya DPR selaku pembuat UU ebenarnya tahu bahwa syarat kegentingan memaksa untuk mengubah Perpu menjadi UU tidak terpenuhi. Selain dinyatakan cacat formil, Pemohon juga menyatakan bahwa pengesahan UU itu juga mengalami cacat materiil.
Karena menyebabkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak berlangsung dengan demokratis. Menurut Pemohon hal itu disebabkan karena UU itu tidak memuat satu pun norma soal sanksi politik uang.
"Orang nanti bebas membagi-bagikan uang tanpa takut dikenai sanksi, bebas jual beli partai, bebas menyalahgunakan jabatan," ujar Heriyanto.
Kendati UU itu telah mengalami revisi oleh Pemerintah dan DPR, penggugat justru menyebutkan bahwa revisi tersebut justru semakin merugikan akibat adanya ketentuan yang menyatakan Panwas di tingkat kabupaten/kota sebagai Bawaslu kabupaten/kota.
"Keduanya tidak bisa disamakan karena memiliki nomenklatur yang berbeda," ujar Heriyanto.
Sebelumnya Perppu Pilkada disahkan menjadi UU Pilkada dalam rapat paripurna DPR di Jakarta, Selasa (17/2/2015) lalu. Paripurna DPR selain mengesahkan revisi UU Pilkada, juga mengesahkan UU Pemda.
Dalam rapat paripurna, sejumlah fraksi masih memberikan catatan, menyusul perdebatan dalam proses pembahasaan saat masih menjadi RUU. Paling tidak ada 13 poin yang menjadi perdebatan dan kini sudah menjadi tambahan pasal terbaru.