Suara.com - Bisnis jasa penyalur pekerja rumah tangga (PRT) bukan bisnis baru di kota besar seperti DKI Jakarta. Jasa penyalur PRT menjamur atas nama yayasan sampai perusahaan terbatas (PT). Apa yang menyebabkan menjamurnya bisnis itu di Jakarta?
Modal yang tidak terlalu besar, namun keuntungan yang diraup sangat besar. Itu yang menjadi salah satu penyebab menjamurnya bsnis penyalur PRT.
Salah satu penyalur pekerja rumah tangga adalah Yayasan Cendana Raya atau Yayasan Bu Gito. Bisa jadi, Yayasan Bu Gito menjadi pionir dalam bisnis penyedia pekerja rumah tangga di Jakarta.
Berdiri sejak awal 1990-an, penyalur PRT yang beralamat di kawasan Jakarta Selatan itu beromzet minimal Rp120 juta perbulan. Dalam se-bulan, yayasan ini bisa menyalurkan seratus PRT dan baby sitter.
Pemilik Yayasan Bu Gito, Ruminah mengatakan bisa meraup untung besar menjelang dan setelah Lebaran. Selama dua bulan di musim puasa dan mudik, dia bisa menyalurkan dua ratus PRT dan baby sitter.
"Kalau dihitung, tidak menentu. Tapi sebelum dan setelah Lebaran itu sangat banyak yang minta, bisa sampai 200 orang disalurkan. Kalau lagi sepi, yah paling 100-an perbulan," jelas Ruminah di Yayasan Bu Gito, pekan lalu.
Dari mana nilai ratusan juta keuntungan Ruminah selama sebulan itu? Begini, Ruminah mendapatkan ratusan calon PRT dari 100-an agennya di seluruh daerah. Agen itu disebut sponsor. Sponsor membawa calon PRT untuk disalurkan melalui Yayasan Bu Gito. Mereka datang dari berbagai daerah seperti Lampung, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kemudian, Bu Gito menarik fee sebesar Rp 2 juta untuk calon majikan. Uang itu sebagai biaya 'ambil' PRT. Uang itu dibayarkan calon majikan hanya sekali.
"Sekali bayar itu, majikan dapat PRT. Dia bisa ganti PRT 3 kali dalam 3 bulan jika memang selama itu tidak cocok," kata Ruminah.
Fee Rp 2 juta itu dibagi dua dengan sponsor, 60 persen untuk Bu Gito dan 40 persen untuk sponsor.
"Kadang 35 persen - 65 persen," sambungnya.
Sementara soal gaji PRT dibayarkan sendiri majikan langsung ke PRT, tidak melalui Yayasan Bu Gito. Hanya saja besaran gaji ditentukan antar majikan dan calon PRT. Sementara penyalur hanya memberikan rekomendasi standar gaji saja.
"Kalau dari APPSI (Asosiasi Pelatihan dan Penempatan Pekerja Rumah Tangga Seluruh Indonesia) mematok gaji Rp1,2 juta sampai Rp1,5 untuk PRT, sementara untuk baby sitter Rp1,8 juta sampai Rp3 juta," kata dia.
Ruminah mengklaim yayasannya tidak memotong gaji PRT selama bekerja. Hanya saja selama 3 bulan, PRT masih terikat perjanjian kerja untuk tidak keluar.
"Setelah 3 bulan, kami lepas," klaimnya.
Khusus untuk calon baby sitter, kata dia, harus mengikuti pendidikan dulu di yayasan selama satu bulan dengan membayar Rp2,5 juta. Uang itu sebagai biaya pelatihan. calon baby sitter bisa mencicil pembayaran uang pelatihan dari gaji atau membayar cash ketika bergabung ke yayasan.
"Ada juga yang membayar Rp500 ribu dulu. Setelah itu mencicil dengan mentransfer ke rekening saya. Sama setelah 3 bulan, langsung lepas nggak terikat saya lagi," ungkap Ruminah.
Ruminah menghitung, jika ditotal keuntungannya setelah menggaji karyawan, sewa bangunan milik BUMN PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia, dan keperluan kantor, dia bisa mengantungi keuntungan bersih sebesar Rp 30 juta. Itu minimal. Karena saat musim Lebaran, dia bisa mengantungi keuntungan bersih Rp 75 juta sebulan, atau 25 persen dari keuntungan kotor.
Suka Duka "Bu Gito"
Sejak tahun 1992, Ruminah bersama suaminya, Sugito jungkil balik mengurus yaysan penyalur tenaga kerja. Banyak masalah yang mereka hadapi. Sebagian besar adalah PRT yang bermasalah dengan majikan.
Menurut dia, masalah yang sering muncul adalah majikan yang tidak membayar PRT sesuai perjanjian awal. Ruminah harus mengurus masalah itu mulai dari penyelesaian di kepolisian hingga menampung PRT yang tengah bermasalah di yayasannya.
"Dulu ada namanya Ketut, dia 5 tahun nggak dibayar oleh majikannya. Saya baru tahu setelah 5 tahun itu dia melapor," cerita Ruminah.
Sejak saat itu, Ruminah mengklaim yayasannya selektif dalam memilihkan majikan.
"Misal ada yang mau PRT, rumahnya di Pondok Indah. Dia mau ambil satu saja, sementara di rumahnya tidak ada PRT. Kami nggak kasih. Karena sudah pasti kerja PRT nanti bakal berlebih, kita nggak mau. Lebih baik nggak ngambil. Atau kalau mau, ambilnya dua sampai tiga orang," kata dia.
Selain masalah itu, ibu 3 anak itu mengatakan saat ini tidak mudah mencari pekerja untuk dijadikan calon PRT. Sementara permintaan PRT di Jakarta dan kota penyanggahnya seperti Tangerang, Bogor, Bekasi, dan Bogor terus bertambah tiap tahunnya.
"Kalau dulu banyak, sekarang nggak banyak. Makanya saya banyak menolak permintaan," kata dia.
Meski hampir 20 tahun Ruminah menjalankan bisnis penyalur PRT, namun tidak menjamin yayasannya akan 'laku'. Pasalnya ada juga majikan yang tidak puas dengan PRT yang mereka pekerjakan dari Yayasan Bu Gito.
"Ini kan bisnis kepercayaan aja. Percaya nggak sama PRT-nya? Percaya nggak sama kita? Nah ini yang jadi tolak ukur. Yayasan lama tapi terus mengecewakan, kan nggak laku juga," papar Ruminah.
Omzet Bisa Mencapai Ratusan Juta Perbulan
Pebriansyah Ariefana Suara.Com
Senin, 02 Maret 2015 | 14:00 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Periode Kedua Puan Maharani, Film Mengejar Mbak Puan Masih Relevan
19 Oktober 2024 | 17:40 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI