Suara.com - Pengacara Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif, Bambang Widjojanto (BW) meminta Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri memenuhi rekomendasi Ombudsman dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terhadap kasus kliennya, sebelum melakukan pemeriksaan lanjutan.
"Penyidikan ini delegitimasi. Hari ini sudah ke luar rekomendasi dari Ombudsman mengenai kelemahan formil sampai substantif sehingga kami meminta gelar perkara khusus untuk melihat apakah penyidikan ini sesuai hukum atau rekayasa," kata ketua tim pengacara Bambang, Asfinawati dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Selasa (24/2/2015).
Pada hari ini Ombdusman Republik Indonesia menyimpulkan bahwa telah terjadi maladministrasi dalam proses penangkapan Bambang Widjojanto. Ombudsman juga merekomendasikan sejumlah hal, yaitu pertama melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi di jajaran Bareskrim sehubungan dengan adanya maladministrasi yang dilakukan oleh Kombes Pol Daniel Bolly Tifaona selaku Kasubdit VI Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus beserta penyidik yang menangani perkara tersebut.
Rekomendasi selanjutnya adalah melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada perwira menengah Lembaga Pendidikan Polri (Lemdikpol) Polri Kombes Pol Viktor E Simanjuntak yang ikut melakukan penangkapan di luar surat perintah penyidikan (sprindik) dan surat perintah penggeledahan dan surat perintah penangkapan.
"Kalau kembali ke rekomendasi Ombudsman, ada rekomendasi agar Kombes Viktor E Simanjuntak ada rekomendasi untuk ditindak. Dia ikut menahan tapi tidak ada di sprindik, ternyata Kombes viktor dari Lemdikpol, ada hubungan apa dengan BG (Budi Gunawan) yang dikasuskan di KPK? Ini indikasi di balik penetapan BG sebagai tersangka," ungkap Asfinawati.
Sedangkan Komnas HAM berkesimpulan dalam penangkapan Bambang terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadi pelanggaran hak asasi manusia.
Kesimpulan kedua adalah terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dengan indikasi penangkapan Bambang tidak lepas dari konflik antara KPK dan Polri yang telah menjadi konflik laten. Ditinjau dari dimensi waktu, proses hukum terhadap Bambang dilakukan setelah ada tindakan hukum terhadap salah satu pimpinan Polri, hal sama terjadi seperti konflik KPK-Polri sebelumnya.
Ketiga, terjadi penggunaan kekuasaan yang eksesif (excessive use of forece) oleh Polri yang melampaui upaya yang dibutuhkan seperti penggunaan upaya paksa yaitu adanya penggunaan senjata laras panjang serta pengerahan pasukan berlebihan dalam penangkapan Bmabang saat masih menjabat sebagai pimpinan KPK.
Keempat, adanya pelanggaran terhadap "due process of law" karena penangkapan tidak dilakukan sesuai dengan Peraturan kepala Kepolisian Negara RI No 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana karena tidak didahului dengan surat panggilan dan penanganan proses hukum terhadap Bambang dilakukan dengan proses yang tidak jujur.
Kelima, kepolian telah menerapkan hukum secara tidak proporsional dengan penggunaan pasal 242 jo 55 KUHP terhadap kerja advokat sehingga dapat mengancam profesi advokat.