Ada Kekhilafan Hakim, Mantan Dirut IM2 Didesak Ajukan PK

Doddy Rosadi Suara.Com
Selasa, 24 Februari 2015 | 19:26 WIB
Ada Kekhilafan Hakim, Mantan Dirut IM2 Didesak Ajukan PK
IM2
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pakar hukum mendorong Indar Atmanto, mantan Dirut IM2 untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) sesuai dengan pasal 263 dan 266 KUHAP karena adanya dua putusan Mahkamah Agung yang saling bertentangan, sementara eksekutif perusahaan itu saat ini mendekam di Lapas Sukamiskin hampir enam bulan lamanya.

“Jika dua putusan MA saling bertentangan, ya harus PK. Jadi inisiatif dari terpidana (Indar Atmanto dan IM2). Karena ada putusan MA yang bertentangan dan yang kedua ada putusan memidana korporasi yang tidak didakwa. Jadi ada khilafan yang nyata dari putusan hakim,” tegas Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti Andi Hamzah, dalam keterangan tertulis yag diterima suara.com, Selasa (24/2/2015).

Dia menjelaskan putusan pidana itu sama dengan putusan perdata, jika putusan pidana harus berdasarkan perbuatan yang didakwakan, pada putusan perdata berdasarkan apa yang digugat, tidak boleh memutus yang tidak digugat. Oleh sebab itu, harus dilakukan PK sesuai dengan pasal 263 dan 266 KUHAP. Dari fakta yang ada keputusan PTUN menyatakan laporan BPKP tidak boleh digunakan. Pengadilan Tinggi 28 Januari 2014, telah menguatkan keputusan PTUN yang telah memutus tidak sah dan menggugurkan keputusan BPKP bahwa ada kerugian negara Rp 1,3 triliun.  

Tetapi Majelis Hakim mengabaikan putusan sela PTUN yang menyatakan laporan BPKP tidak boleh digunakan. Putusan MA, 21 Juli 2014, akhirnya juga menolak kasasi yang diajukan oleh BPKP, berdasar Putusan MA No.263/K/TUN/2014 (Putusan TUN yang menyatakan tidak sah Surat Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi No. SR-1-24/D6/01/2012 tanggal 9 November 2012.

Menurut Andi, dalam pertimbangan hukum dan amar putusan PN Tipikor, PT Tipikor dan MA Tipikor dalam perkara Terdakwa IA ini, terlihat dengan jelas adanya pertentangan dengan Putusan PTUN, yang dikuatkan oleh putusan PT TUN dan dikuatkan lagi oleh Putusan MA TUN, 21 Juli 2014, khususnya tentang alat bukti surat yang digunakan  untuk membuktikan adanya salah satu unsur tindak pidana korupsi berupa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara, yang dalam perkara ini berupa Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara yang dibuat oleh Tim BPKP.

Laporan tersebut, oleh Putusan PTUN yang diperkuat oleh PT TUN dan dikuatkan lagi oleh MA TUN dinyatakan tidak sah sehingga putusan PN Tipikor selanjutnya PT Tipikor dan MA Tipikor mengandung cacat hukum.
Pertentangan kedua putusan tersebut, dikarenakan baik PN Tipikor, PT Tipikor, maupun MA Tipikor menggunakan hasil audit BPKP tersebut untuk membuktikan adanya kerugian negara, sedangkan alat bukti yang diajukan tersebut dinyatakan tidak sah.

REKOMENDASI

TERKINI