Suara.com - Pemerintah Indonesia diminta tidak perlu khawatir dengan protes Australia dan Brasil atas rencana eksekusi terhadap sejumlah terpidana mati kasus narkotika yang berasal dari dua negara itu. Indonesia juga diminta tidak perlu takut dengan dampak terhadap ekonomi bila hukuman dijalankan.
"Tegas saja, jangan berhitung implikasi ekonomi. Ini namanya sudah harga diri. Hukuman mati tetap dijalankan," kata anggota Dewan Pembina Partai Demokrat Achmad Mubarok kepada suara.com, Selasa (24/2/2015).
Mubarok yakin Australia dan Brasil akan rugi besar bila memutuskan hubungan dengan Indonesia gara-gara warga mereka dihukum mati di Indonesia.
"Dengan Australia kan kita punya hubungan, begitu juga dengan Brasil, ada soal alutsista. Mereka butuh kita, pasti nanti juga ngejar ke sini lagi. Sebulanlah," kata Mubarok.
Sebaliknya, Mubarok mengecam sikap Presiden Brasil Dilma Rousseff yang menolak kehadiran Duta Besar Indonesia untuk Brasil, Totok Riyanto, di istana sebagai bentuk protes terhadap Indonesia. Saat itu, kata Mubarok, Totok diundang ke istana presiden, tapi tiba-tiba setelah sampai di istana, ditolak.
Menurut Mubarok, sikap itu sama artinya melecehkan Indonesia. Mubarok menilai pemimpin Brasil tidak memiliki etika diplomasi.
"Itu sangat tidak etis dalam diplomasi. Mestinya bisa dengan sikap lain, tapi dengan protokoler seperti itu, itu sangat menyinggung harga diri. Itu seperti sedang mempermalukan," kata Mubarok.
Mubarok juga menyayangkan sikap Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang mengungkit-ungkit sumbangan pemerintah Australia untuk korban tsunami Aceh sebagai upaya untuk membebaskan dua warga yang menjadi terpidana mati.
Pernyataan Abbott itu kemudian ditanggapi dengan pengumpulan koin uang untuk Australia di berbagai kota di Indonesia. Uang koin ini nantinya akan dikembalikan ke Australia sebagai ganti sumbangan korban tsunami.
Abbott kemudian minta maaf kepada Indonesia melalui Wakil Presiden Jusuf Kalla. Mubarok mengapresiasi sika minta maaf itu, tapi ia berharap jangan sampai terulang lagi.