Suara.com - SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network) memprediksi jumlah kasus Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saat Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak 2015 akan meningkat. Hal ini berkaca pada banyaknya laporan dugaan pelanggaran UU ITE pada Pilpres 2014 lalu.
"Berkaca pada kasus yang muncul pasca Pilpres berkaitan dengan pecemaran nama di internet, 200 pilkada tersebut juga akan membuat sebuah front di media internet antara satu pihak dengan pihak lain. Karena kan ada calon, mereka bawa data," ujar Aktivis SAFENET, Damar Juniarto kepada suara.com akhir pekan lalu.
Menurut Damar, sepanjang tahun 2014, ada 44 kasus UU ITE, 8 di antaranya terkait Pilpres. Karena itu penegak hukum harus mengantisipasi segala kemungkinan. Salah satunya yang paling mendasar adalah menambah alat digital forensik untuk memeriksa barang bukti kasus UU ITE. Sebab bisa atau tidaknya seseorang dijerat pasal UU ITE, tergantung barang bukti.
Barang bukti dalam kasus UU ITE bukan berbentuk print out atau bukti pindai gambar (screen shoot). Hasil pengamatan Damar, sebagian besar kasus UU ITE tidak sepenuhnya menggunakan barang bukti berupa digital forensik.
"Saya sempat mengobrol dengan bagian forensik digital di Reskrimsus. Khusus tentang digital. Standarnya harus seperti ini dan ini mahal. Dan tidak di setiap kantor polisi bisa melakukannya. Sumber daya sedikit, cukup mahal," jelas Damar.
Dia menyebutkan ada markas kepolisian di kota besar tidak mempunyai alat digital forensik. Dia mencontohkan Yogyakarta, Padang dan Makassar.
"Semua kasus di Yogya tidak ada forensik digitalnya. Ervani, Florens, semua barang bukti itu screen shoot. Bukan forensik digital. Selain Yogya, padang juga termasuk yang nggak ada pemaham tentang barang bukti. Makassar, juga bagian dari kelompok polisi-polisi yang nggak pakai barang bukti," paparnya.
Menanggapi hal itu, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Rikwanto mengklaim tidak ada kendala untuk mengusut kasus ITE di daerah. Bahkan, kata dia, kasus itu sudah bisa ditangani tingkat Kepolisian Resort (Polres).
"Untuk sebuah proses hukum itu, lembaga yang dibolehkan dalam menangani itu adalah Labfor. Misalnya kasus-kasus di Polres-Polres dalam pembuktian secara ilmiah seperti keabsahan surat elektronik, sidik jari, termasuk tulisan disosmed itu. Jadi tidak ada kendala di daerah dalam menangani perkara semacam itu. Karena untuk pembuktiannya ada di Labfor," kata Rikwanto kepada suara.com di Mabes Polri.
Hanya saja Rikwanto mengakui tempat untuk mengalisa bukti digital lewat Labfor masih terbatas. Di seluruh Indonesia hanya ada 3 Labfor. Yaitu di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.
"Soal alat bukti berupa print out itu adalah bukti petunjuk. Jadi perlu diverifikasi ke ahli IT. Semua bukti petunjuk itu diserahkan ke Labfor. Nanti ada tim ahli yang menangani," jelasnya.
Pilkada Serentak Berpotensi Tingkatkan Kasus UU ITE
Pebriansyah Ariefana Suara.Com
Senin, 23 Februari 2015 | 18:17 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Skakmat Nikita Mirzani, Razman Arif Nasution: Pulang Umrah Kok Malah Doain Masuk Penjara
07 November 2024 | 08:00 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI