Motif di Balik Ancaman UU ITE

Senin, 23 Februari 2015 | 15:46 WIB
Motif di Balik Ancaman UU ITE
Damar Julianto (dok. pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sudah 7 tahun Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) diterapkan di Indonesia. Sudah puluhan orang dijerat atas tuduhan UU itu. Namun ternyata, penerapan UU ITE masih buruk.

Aktivis SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network), Damar Juniarto mengatakan dari 44 kasus UU ITE di 2014 kebanyakan bermotif balas dendam. Bukan karena pihak pelapor dirugikan dari sisi pelanggaran di dunia cyber.

Ditemui suara.com berbincang dengan Damar di kantornya pekan lalu. Dia banyak bicara soal riset SAFENET yang melakukan pembelaan terhadap terdakwa atau tersangka yang dijerat pasal UU ITE.

Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana awalnya UU ITE ini lahir?
UU ITE itu lahir dari keinginan negara untuk mengatur transaksi elektronik dan informasi elektronik. Dalam perumusannya dulu ada 2 tim. Tim dari ITB dan UI. Dari ITB melihat aspek teknis dari penggunaan internet. Kalau UI, melihat transaksi elektroniknya. Yang akan diatur, bagaimana perdagangan dari online. Jika perbankan meminta data untuk bertransaksi. Tim ini dijadikan satu.

Lalu ada Professor Edmon Makarim tiba-tiba memasukkan unsur  baru. Yaitu menngatur soal pencemaran nama. Tadi UU ITE itu mengatur soal transaksi elektronik, dan hal yang ilegal dalam transaksi elektronik.  Semisal penipuan, pornografi, dan perjudian. Tapi tiba-tiba ada satu nama lagi, yaitu pencemaran nama baik. Dia narik dari KUHP karena di sana tidak mengatur di media internet.

Sudah berapa banyak kasus yang menjerat UU ITE ini?
Kalau dilihat trennya nggak asik yah. Naik terus. Di 2013 dan 2014 langsung melonjak. Sebanyak 50 persen sekian kasus itu di 2014. Setahun itu 4. Ternyata juga menyebar ke seluruh Indoensia. Jadi ini bukan perkara orang-orang Jakarta saja. Kalau berdasarkan pasal terbanyak 27 ayat 3 yang dilaporkan. Ada pasal lain juga, pasal 28 dan 29. Tapi 92 persen karena pasal 27.

Kalau berdasarkan media internet yang rentan dilapororkan, Facebook yah. Kalau Facebook itu kan ada wall, grup, page. Grup juga ada macam-macam kan, ada open grup, grup rahasia. Nah di pasal ini, semua bisa. Padahal kalau digrup tertutup itu nggak terbuka. Lalu medium lain itu ada Line. Padahal Line kan itu sama kayak WhatsApp. Kalau masuk grup, itu harus ada persetujuan. Kita juga mempersoalkan UU di internet, mereka pukul rata. Tidak bisa membedakan. Kalau pasal 310-311 (KUHP) kan ada di muka publik. Kalau di internet, tidak ada pembeda. Mana obrolan pribadi, mana yang ditarohin di publik. Pasal itu hanya mencari mana yang mempenuhi unsur transaksi elektronik.

Kalau kita lihat pengaduannya, yang paling kentara itu dari instansi publik. Entah kepala daerah. Yang awam ini juga menarik. Antara pengusaha sama bawahannya. Jadi matrix-nya itu, antara yang kuat yang mempunyai posisi pemerintahan atau kapital, terhadap mereka yang tidak punya kekuatan. Jadi kita melihat, oh konstruksinya memang ini dijadikan alat meredam kritik yang muncul dari bawah.

Dalam kita memandang kasus ini, apakah pencemaran nama ini ada HAM yang dilanggar. Kalau kita lihat pencemaran nama ini bukan HAM yang dilanggar. Tapi ada kerugian yang sifatnya sangat subjektif. Kalau tidak ada ukurannya, bagaimana dia bisa dinyatakan pencemaran nama baik. Ada orang yang benar-benar menyampaikan pendapat dan dalam proses hukum, mereka benar-benar dikriminalisasi. Semisal kasus Prita. Ini kita melihat orang ini tidak bersalah, tapi memanfaatkan celah hukum kemudian menggunakan pasal 27 UU ITE ini untuk balas dendam. Jadi bukan karena dicemarkan namanya, tapi ingin balas dendam. Sifatnya barter kasus yang terjadi.

Misal tentang Ervani. Ini konteksnya, suaminya melawan perusahaan tempat dia kerja. Tempat perusahaannya tidak punya tata aturan ketenagakerjaan yang jelas. Jadi hak karyawan itu dipotong. Kelompok suaminya terlibat dalam gerakan menagih hak mereka sebagai karyawan. Ervani  sebagai istri, mendampingi suaminya dan mendengar rapat-rapat pertemuan dengan kelompok karyawan dengan perusahaan.

Yang dia tulis, isi obrolan itu. Tapi karena ini  ada celah, dan perusahaan suaminya melihat ini celah yang bisa dipakai nekan kelompok suami Ervani. Perusahaan tuntut Ervani, dengan barter suaminya  hentikan tuntutannya di perusahaan. Suaminya harus mundur dari perusahaan. Begitu juga di kasus Arsyad, ada barter kasus. Jadi jika Arsyad menncabut laporan penganiayaannya, si lawannya akan cabut UU ITE-nya.

Di kasus Wisni Yetty juga. Ada perjanjian Wisni harus mencabut laporan KDRT, maka suaminya akan cabut UU ITE-nya. Ini kayak begini, kita temukan ternyata konstruksi pemidanaan yang kita tidak tahu, dimanfaatkan. Suaminya bilang, kalau kamu cabut pasal KDRT-nya, saya akan cabut pasal ITE-nya.

UU ini akan direvisi, apa cukup akan menghentikan kriminalisasi?
Seharusnya bagaimana kita mempunyai UU internet yang bisa menjamin tidak terjadinya kejahatan-kejahatan yang tadi. Kita minta prosesnya transparan dan melibatkan masyarakat sipil. Biar kita bisa melihat UU ITE baru ini harus jelas memperhatikan unsur publiknya dari kasus pencemaran nama. Kalau privat yah nggak bisa dong. Kayak di Line, message Facebook, SMS, atau juga status BBM.

Kalau itu terlalu rumit, kami minta cabut saja pasalnya. Karena betul-betul sangat karet. Teknologi kan kita nggak tahu ke depan kayak apa. Karena pembahasan antara privasi dan publik. Kalau UU ITE terlalu mengatur pasal pencemaran nama. Jadi terlalu besar untuk menjaga kejahatan seperti itu. Kalau itu dicabut, kita mengikuti KUHP. Membuat rujukan yang lebih pasti, kejahatan itu diatur dalam sistem hukum kita. Jadi menginduk saja ke KUHP. Atau pencemaran nama baik itu masuk ke KUHAP perdata. Jadi bisa diukur dengan kerugian.

Pasal berapa saja yang merugikan?
Pasal 27, pasal 28, dan pasal 29. Pasal 28 itu karena mereka menggunakan internet untuk penodaan agama. Contoh Kasus Tian di Bali. Buat kita penodaan agama itu harus direvisi. Nggak boleh di mana-mana menghina agama lain, tapi apakah mengaku atheis itu mengaku penghinaan atau bukan. Itu kan masuk ekspresi.

Etik internet itu bisa dimasukkan ke UU ITE?
Kita melihat di internet itu sudah ada etika dari tahun 1994. Semisal sopan, tidak boleh digunakan untuk mengobarkan kebencian. Nah, etika itu berdirinya sebagai pedoman yah.

Apa sosialisasi UU ITE ini sudah baik di masyarakat dan penegak hukum?
Kita melihat saat berperkara, pengacara baru tahu ada UU ITE, jadi sangat aneh. Terus aparat penegak hukum tidak tahu soal UU ITE. Masih banyak barang bukti yang sifatnya print out. Padahal print out atau screen shoot, bukan barang bukti. Kalau di UU ITE itu dalam bentuk forensik digital. Kalau ngetik, pakai HP apa? Mana laptopnya? Bahkan data yang dihapus di laptop kan bisa dibaca lagi.

Dengan adanya niat untuk revisi UU ITE, apakah bisa menjadi satu kemajuan?
Tidak bisa dijamin nggak ada korban baru juga. Tetap ada peluuang. Peluang yang paling besar, pada tahun 2015 ini ada pilkada serentak. Dan berkaca pada kasua yang muncul pasca Pilpres berkaitan dengan pecemaran nama di internet, 200 pilkada tersebut juga akan membuat sebuah front di media internet antara satu pihak dengan pihak lain. Karena kan ada calon, mereka bawa data. Di 2014, dari 44 itu 19 persen pengaduan Pilpres. Sehingga ada ngeri-ngeri juga membayangkan kemungkinan itu.

Bagaimana kesiapan penegak hukum dalam hal pemeriksaan alat bukti dalam persidangan UU ITE?
Beberapa dijalan prosedurnya. Tapi beberapa nggak. Itu sebabnya, kalau Menteri Rudi Antara, masalah UU ITE itu di penerapan. Kalau kita menyebut dulu, itu masalah di juknis (petunjuk teknis). Jadi tidak ada petunjuk dari Kominfo, proses penyidikan terhadap kasus. Yah kita melihat Juknisnya nggak pernah turun dari Kominfo.

Saya sempat mengobrol sama forensik digital di Reskrimsus. Khusus tentang digital. Standarnya harus seperti ini, dan ini mahal. Dan tidak di setiap kantor polisi bisa melakukannya. Sumber daya sedikit, cukup mahal. Kota-kota tertentu mengabaikan proses ini. Misal Yogya, semua kasus di Yogya tidak ada forensik digitalnya. Ervani, Florens, semua barang bukti itu screen shoot. Bukan forensik digital. Selain Yogya, Padang juga termasuk yang nggak ada pemaham tentang barang bukti. Makassar, juga bagian dari kelompok polisi-polisi yang nggak pakai barang bukti.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI