Suara.com - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ban Ki-moon, menyatakan kepada pemerintah Indonesia bahwa eksekusi terhadap terpidana mati yang tersisa karena kasus narkoba agar jangan dilakukan. Sikap Ban kemudian dinilai sejumlah kalangan sebagai bentuk intervensi terhadap hukum Indonesia dan hal itu menimbulkan tentangan yang keras.
"Indonesia adalah negara berdaulat, PBB tidak boleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini pemerintah Jokowi, karena hukuman terhadap terpidana mati dalam kasus narkoba itu sudah inkrah dan harus dilaksanakan," kata Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan Arman Remy kepada Suara.com, Minggu (15/2/2015).
Arman menegaskan pengimplementasian hukum di negara Indonesia tidak boleh dicampuri oleh negara manapun dan dalam bentuk apapun.
"Ban Ki-moon tidak berhak mengintervensi," kata Arman.
Kemudian Arman mengungkap data bahwa saat ini ada 215 warga negara Indonesia yang terancam hukuman mati di sejumlah negara. Menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, rinciannya 45 WNI di Arab Saudi, 148 WNI di Malaysia, dan 22 WNI di Cina.
Arman mempertanyakan sikap Ban Ki-moon, apakah PBB tergerak untuk membantu menyelamatkan 215 WNI tersebut, seperti yang dilakukan Ban Ki-moon sekarang, ketika ada dua warga Australia yang menjadi terpidana mati kasus narkoba.
"PBB tidak pernah intervensi ketika ada WNI yang terancam hukuman mati. Harus adil, dong," kata Arman.
Itu sebabnya, PPP mendukung pemerintahan Jokowi-JK dalam dalam menegakkan hukum.
Sikap PBB muncul setelah Australia bereaksi keras terhadap pemerintah Indonesia yang sebentar lagi akan menghukum mati dua warga Australia yang menjadi terpidana mati narkoba atau kasusnya dikenal sebagai "Bali Nine." Bahkan, Australia sampai mengeluarkan pernyataan warga mereka akan mempertimbangkan untuk menjadikan Indonesia sebagai tujuan wisata.
Arman meminta Presiden Jokowi tegas dan tidak terpengaruh dengan tekanan luar negeri dalam menegakkan hukum.