Menebak Putusan Pengadilan untuk Budi Gunawan

Suwarjono Suara.Com
Minggu, 15 Februari 2015 | 13:27 WIB
Menebak Putusan Pengadilan untuk Budi Gunawan
Hakim kasus Budi Gunawan
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lima hari sudah sidang gugatan praperadilan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Fakta-fakta dan pendapat ahli dari kubu Budi dan Komisi Pemberantasan Korupsi diadu. Mana lebih kuat? Budi Gunawan yang tidak terima ditetapkan sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi oleh KPK ingin melepaskan status memalukan tersebut lewat lembaga praperadilan.

Status tersangka menjadi penghalang bagi Budi untuk melaju sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang telah dicalonkan oleh Presiden Joko Widodo pada 9 Januari 2015.

Status tersangka atas dugaan transaksi mencurigakan dan penerimaan hadiah itulah yang membuat Presiden menunda pelantikan Budi Gunawan.

Apakah status tersangka sah? Penetapan status tersangka Budi terhadap Gunawan bermuatan politis, begitulah kata tim pengacara hukum Budi. Hal tersebut dianggap karena Budi dijadikan tersangka tepat sehari sebelum melakukan tes uji kepatutan dan kelayakan sebagai Kapolri di Komisi III DPR.

Namun itu hanya salah satu di antara banyak alasan atau dalil lainnya pihak Budi melayangkan permohonan praperadilan untuk menguji sah tidaknya status tersangka.

Pada Senin (9/2), sidang perdana praperadilan Budi dimulai setelah satu minggu sebelumnya sidang ditunda karena pihak KPK tidak hadir.

Sidang pertama mengagendakan pembacaan gugatan pihak pemohon atau Budi Gunawan. Dalam dalil-dalil gugatannya, kuasa hukum Budi menyebutkan bahwa penetapan tersangka tidak sah karena cacat hukum.

KPK disebut melanggar undang-undang dalam keputusan penetapan tersangka tersebut.

Beberapa dalil yang mengatakan penetapan tersangka Budi Gunawan tidak sah antara lain karena KPK tidak pernah memanggil Budi untuk meminta keterangan sebelumnya, karena penetapan tersangka tersebut hanya diputuskan oleh empat pimpinan dan tak dilakukan secara kolektif kolegial, penyidik kasus Budi ilegal karena bukan dari anggota Polri, dan penetapan status tersangka tersebut tidak cukup bukti.

"Bahwa penetapan tersangka pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar, nama baik pemohon dirampas, cacat yuridis, dan masih diikuti oleh pencekalan yang merupakan pembunuhan karakter pribadi serta keluarga," kata Frederich Yunadi, kuasa hukum Budi.

Kolektif Pihak Budi menilai penetapan tersangka cacat hukum karena tidak diambil berdasarkan keputusan kolektif kolegial, yang menurut kuasa hukum pemohon diputuskan secara bersama-sama oleh seluruh pimpinan KPK yang berjumlah lima orang.

Salah satu saksi ahli Budi Gunawan, Romli Atmasasmita mengatakan pimpinan KPK mutlak harus lima orang. Menurut dia, posisi pimpinan KPK tidak boleh ada kekosongan dan harus segera dicarikan pemimpin baru.

"Ketika ada kekosongan, Presiden harus mengusulkan calon pimpinan KPK baru," kata salah satu perancang Undang-Undang No 30 tahun 2002 Tentang KPK tersebut.

Namun menurut KPK, pengangkatan pimpinan baru bisa memakan waktu yang lama. "Proses pengangkatan itu cukup lama, kurang lebih enam bulan. Bagaimana apabila proses yang lama itu membuat kevakuman di KPK," kata Kepala Biro Hukum KPK Chatarina M Girsang Kendati demikian, Romli tetap bersikukuh bahwa KPK mutlak harus dipimpin oleh lima pimpinan tanpa terkecuali. Ia mengatakan, apabila terjadi kekosongan maka Presiden bisa melakukan dua hal sebagai opsi.

"Yang pertama, menunjuk plt (pelaksana tugas). Dengan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) itu, Presiden bisa menunjuk siapa saja yang dianggap punya kemampuan untuk menjadi pimpinan KPK," kata Romli.

Sedangkan opsi kedua ialah Presiden mengeluarkan perppu terkait percepatan proses pengangkatan pimpinan KPK dari enam bulan menjadi empat bulan. Menurut dia, Presiden tidak bisa melakukan hal tersebut dengan keppres, melainkan harus perppu.

Dengan begitu, kata dia, pengambilan keputusan oleh empat orang pimpinan KPK tidak sah dan menyalahi undang-undang.

Berbeda dengan Romli, saksi ahli hukum tata negara yang dihadirkan KPK Zainal Arifin Mochtar mengatakan bahwa KPK selalu dipimpin oleh lima pimpinan itu mustahil.

"Secara pembacaan struktural Undang-Undang KPK mustahil diterjemahkan bahwa kolektif kolegial itu harus selalu lima dan wajib lima pimpinan," kata profesor dari Universitas Gadjah Mada tersebut.

Ia mengatakan, hal tersebut dikarenakan ada kalanya pimpinan KPK mengalami "conflict of interest" atau konflik yang melibatkan anggota keluarga dan pimpinan KPK sehingga tidak bisa menjabat posisi tersebut.

Dosen UGM itu mengatakan, KPK minimal dipimpin oleh setengah plus satu dari jumlah keseluruhan pimpinan. "Minimal harus setengah plus satu, kalau di KPK minimal tiga pimpinan," kata Zainal.

Ia mengatakan, perppu plt pimpinan KPK baru bisa dikeluarkan apabila hanya tersisa dua orang.

Dengan begitu, keputusan yang diambil oleh empat pimpinan KPK sah dan tidak menyalahi undang-undang.

Zainal mencontohkan Komisi Yudisial yang menerapkan hukum forum yang bisa mengambil keputusan dengan hanya lima komisioner sedangkan jumlah keseluruhannya tujuh komisioner.

Penyidik Non-Polri Kuasa hukum pemohon mempermasalahkan status penyidik yang menandatangani surat pemanggilan Budi Gunawan untuk pemeriksaan.

Menurut kuasa hukum, penyidik yang menandatangani surat tersebut bukan dari Polri. Sedangkan berdasarkan KUHAP, penyidik KPK harus dari Polri. Hal tersebut yang dipermasalahkan pihak Budi Gunawan.

Saksi ahli pihak Budi, Romli Atmasasmita mengatakan KPK bisa mengangkat penyidik sendiri. "Bahkan pada draft awal undang-undang itu KPK disebutkan harus memiliki penyidik sendiri. Tapi kalau peraturannya begitu kapan KPK mulai bekerja? Oleh karena itu dibuat bahwa penyelidik dan penyidik dari Polri dan jaksa penuntut dari Kejaksaan," kata Romli.

Romli membenarkan bahwa KPK boleh mengangkat penyidik sendiri yang berasal dari pegawai negeri sipil dengan nama PPNS atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil. "Boleh mengangkat penyidik sendiri, tapi harus bersertifikat," kata Romli.

Salah satu anggota Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang mengatakan PPNS KPK dilatih terlebih dulu di Akademi Kepolisian (Akpol). "Sebelum diangkat kami beri pelatihan dulu selama enam bulan di Akpol," kata Rasamala.

Pendapat ahli tersebut diperkuat dengan pernyataan ahli hukum tata negara Zainal Arifin Mochtar yang mengatakan KPK memiliki sifat "self-regulatory body" atau memiliki kewenangan mengatur dirinya sendiri.

"KPK bisa mengatur dirinya sendiri sepanjang itu tidak menyalahi undang-undang," kata Zainal.

Ia menekankan, KPK bisa mengatur dirinya sendiri selama undang-undang tidak mengatur suatu hal secara rinci dan detil.

Bukti Permulaan Kuasa hukum Budi Gunawan juga mempermasalahkan bukti yang digunakan oleh KPK untuk menetapkan status tersangka. Kuasa hukum menilai penetapan tersangka tidak sah karena Budi belum pernah dimintai keterangan, belum ada saksi yang diperiksa, dan bukti yang tak diperlihatkan.

KPK mengatakan Laporan Hasil Analisis (LHA) keuangan Budi Gunawan dari Pusat Penelusuran Analisis dan Transaksi (PPATK) bisa dijadikan bukti permulaan.

Namun pihak Budi pun mempermasalahkan, bahwa LHA PPATK tahun 2009 yang digunakan oleh KPK diambil dari Bareskrim Polri. KPK dianggap mengambil alih perkara tanpa pemberitahuan.

Saksi ahli pihak Budi, Kepala Subdirektorat III Tindak Pidana Pencucian Uang Bareskrim Polri Kombes Budi Wibowo mengatakan LHA asli Budi Gunawan tahun 2009 yang pernah ditelusuri dan disimpan di Bareskrim hilang.

Namun pihak KPK menjelaskan bahwa LHA yang digunakan sebagai bahan penyelidikan bukanlah tahun 2009, melainkan tahun 2014. Saksi fakta KPK Irsan yang merupakan penyelidik kasus Budi mengatakan, LHA Budi tahun 2008 digunakan untuk menganalisa laporan masyarakat yang mengatakan adanya aliran dana mencurigakan ke rekening Budi Gunawan. Sedangkan untuk kepentingan penyelidikan tim penyelidik menggunakan LHA tahun 2014.

Sedangkan penetapan tersangka yang tanpa memintai keterangan dari Budi maupun saksi lain dijawab oleh KPK melalui saksi ahli.

Mantan Kepala Bidang Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung Adnan Paslyaja mengatakan, penetapan tersangka bisa dilakukan tanpa meminta keterangan kepada calon tersangka lebih dulu.

"Kalau bukti-bukti sudah cukup, tidak perlu lagi melakukan panggilan untuk meminta keterangan," kata Adnan.

Ia mengatakan, pemanggilan untuk meminta keterangan hanyalah pemberian hak pembelaan pada seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Adnan juga mengatakan bahwa LHA sudah dapat dijadikan permulaan untuk memulai penyelidikan.

Kewenangan Praperadilan Dalil-dalil tersebut beserta dengan pendapat para saksi ahli dan keterangan saksi fakta akan disimpulkan oleh hakim tunggal praperadilan Sarpin Rizaldi. Sarpin bertugas memutuskan sah tidaknya status tersangka Budi Gunawan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan.

Namun terlepas dari itu semua, perdebatan paling awal yang banyak dibicarakan adalah mengenai kewenangan lembaga praperadilan dalam menentukan sah tidaknya status tersangka seseorang.

Pasal 77 KUHAP hanya menjelaskan kewenangan lembaga praperadilan untuk menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penghentian penuntutan.

Sedangkan dalam pasal 95 KUHAP dijelaskan bahwa tersangka, terdakwa, terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan berdasarkan undang-undang. Frasa "tindakan lain" inilah yang menurut kuasa hukum Budi bisa diartikan penetapan tersangka.

Saksi ahli Budi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chaerul Huda mengatakan frasa tindakan lain tersebut bisa diartikan penggeledahan, memasuki rumah orang, penyitaan dan hal-hal lainnya yang merampas kebebasan seseorang.

"Frasa tindakan lain ini bisa diisi apa saja selama itu membatasi kebebasan, membatasi kemerdekaan, dan membatasi hak asasi manusia," kata Chaerul.

Penetapan tersangka yang membuat pelantikan sebagai Kapolri ditunda merupakan pembatasan kebebasan. Selain itu pelarang pergi ke luar negeri yang dilayangkan KPK juga dinilai sebagai membatasi kebebasan.

Hakim Sarpin pun menyempatkan diri berkonsultasi meminta pendapat pada saksi-saksi ahli yang dihadirkan oleh pihak Budi Gunawan maupun KPK. Sarpin meminta pendapat Guru Besar Hukum Universitas Padjajaran Romli Atamsasmita, dosen Hukum Universitas Indonesia Junaedi, dan Profesor Filsafat Hukum Universitas Parahyangan Bernard Arif Sidharta.

Sarpin bertanya pada Romli mengenai aturan yang menyebutkan bahwa pengadilan dilarang menolak permohonan gugatan seorang warga dengan kewenangan lembaga praperadilan yang tidak menangani soal penetapan tersangka.

Romli menjawab bahwa pengadilan tidak bisa menolak permohonan perkara hanya karena tidak memiliki kewenangannya. "Tidak mungkinlah hanya karena berbenturan secara teknis pengadilan menolak. Jadi tidak bisa ditolak karena alasan di luar kewenangan," kata dia.

Namun Romli menyarankan untuk ke depannya bahwa permasalahan perkara sah tidaknya penetapan status tersangka ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.

Perihal pengadilan yang dilarang menolak permohonan gugatan perkara, juga ditanggapi oleh Bernard. Menurutnya, hakim hanya tidak boleh menolak permohonan perkara, menolak mengadili, dan menolak memutuskan. Namun hakim tidak boleh mengabulkan permohonan gugatan yang tidak ada dasar hukumnya yang diatur undang-undang.

"Ketentuan itu hanya menunjukkan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara. Jadi kalau ada perkara apa pun juga, dia harus terima kemudian diputuskan. Kalau (perkara tersebut) tidak ada dasar hukum atau tuntutannya, maka ditolak, kata Bernard.

Hakim Sarpin juga meminta pendapat pada Junaedi dan Bernard dengan pertanyaan yang sama. "Apabila saudara ditetapkan tersangka kasus suap, padahal saudara sama sekali tidak melakukannya. Apa yang saudara lakukan selaku ahli hukum?" kata hakim.

Bernard mengatakan, hal tersebut akan dibuktikan melalui peradilan. "Saya akan terima (ditetapkan sebagai tersangka) dan menunggu pembuktiannya di peradilan," kata Bernard.

Junaedi pun menjawab hampir serupa dengan apa yang dilontarkan Bernard. "Ini terkait wewenang (sebuah lembaga hukum). Untuk mengujinya sudah masuk materil, seharusnya diuji (dibuktikan sah tidaknya) di peradilan," kata Junaedi.

Terlepas itu semua, keputusan hanya ada di tangan hakim Sarpin Rizaldi. Fakta dan pendapat ahli yang terungkap di persidangan yang menjadi rujukan bagi hakim untuk memutuskan pada sidang putusan Senin (16/2). Apakah mengabulkan gugatan Budi Gunawan, atau menolak. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI