Kolektif Pihak Budi menilai penetapan tersangka cacat hukum karena tidak diambil berdasarkan keputusan kolektif kolegial, yang menurut kuasa hukum pemohon diputuskan secara bersama-sama oleh seluruh pimpinan KPK yang berjumlah lima orang.
Salah satu saksi ahli Budi Gunawan, Romli Atmasasmita mengatakan pimpinan KPK mutlak harus lima orang. Menurut dia, posisi pimpinan KPK tidak boleh ada kekosongan dan harus segera dicarikan pemimpin baru.
"Ketika ada kekosongan, Presiden harus mengusulkan calon pimpinan KPK baru," kata salah satu perancang Undang-Undang No 30 tahun 2002 Tentang KPK tersebut.
Namun menurut KPK, pengangkatan pimpinan baru bisa memakan waktu yang lama. "Proses pengangkatan itu cukup lama, kurang lebih enam bulan. Bagaimana apabila proses yang lama itu membuat kevakuman di KPK," kata Kepala Biro Hukum KPK Chatarina M Girsang Kendati demikian, Romli tetap bersikukuh bahwa KPK mutlak harus dipimpin oleh lima pimpinan tanpa terkecuali. Ia mengatakan, apabila terjadi kekosongan maka Presiden bisa melakukan dua hal sebagai opsi.
"Yang pertama, menunjuk plt (pelaksana tugas). Dengan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) itu, Presiden bisa menunjuk siapa saja yang dianggap punya kemampuan untuk menjadi pimpinan KPK," kata Romli.
Sedangkan opsi kedua ialah Presiden mengeluarkan perppu terkait percepatan proses pengangkatan pimpinan KPK dari enam bulan menjadi empat bulan. Menurut dia, Presiden tidak bisa melakukan hal tersebut dengan keppres, melainkan harus perppu.
Dengan begitu, kata dia, pengambilan keputusan oleh empat orang pimpinan KPK tidak sah dan menyalahi undang-undang.
Berbeda dengan Romli, saksi ahli hukum tata negara yang dihadirkan KPK Zainal Arifin Mochtar mengatakan bahwa KPK selalu dipimpin oleh lima pimpinan itu mustahil.
"Secara pembacaan struktural Undang-Undang KPK mustahil diterjemahkan bahwa kolektif kolegial itu harus selalu lima dan wajib lima pimpinan," kata profesor dari Universitas Gadjah Mada tersebut.
Ia mengatakan, hal tersebut dikarenakan ada kalanya pimpinan KPK mengalami "conflict of interest" atau konflik yang melibatkan anggota keluarga dan pimpinan KPK sehingga tidak bisa menjabat posisi tersebut.