Suara.com - Puluhan masyarakat nelayan dari tiga kabupaten di Aceh, yakni Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang, mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Selasa (10/2/2015). Mereka meminta DPR Aceh untuk menampung aspirasi terkait persoalan peraturan Menteri Lelautan dan Perikanan No 2/PERMEN-KP/2015 yang melarang nelayan menggunakan trawl.
Perwakilan Masyarakat Nelayan, Faisal Zakaria mengatakan, peraturan tersebut telah merugikan sejumlah nelayan Aceh. Pasalnya, beberapa boat pukat trawl milik nelayan Aceh Timur ditangkap petugas di wilayah perairan Lhokseumawe.
Kata dia, kondisi itu membuat nelayan ditiga kabupaten/kota tersebut merasa takut untuk melaut. Bahkan menurutnya, sudah dua minggu para nelayan yang menggunakan pukat trawl tidak melaut karena takut ditangkap.
Hal ini menyebabkan nelayan kehilangan pekerjaan dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Kalau ini tidak ada solusi, tentu semua nelayan yang pakai (pukat) trawl tidak berani melaut. Harusnya pihak kementerian melakukan sosialisasi dulu terhadap aturan ini, sehingga nelayan tidak merugi dan kita temukan solusi bersama untuk persoalan ini," ujar Faisal Zakaria.
Kata dia, ditiga kabupaten/kota itu terdapat 143 boat pukat. Setiap boat mempekerjakan 10 orang nelayan, kemudian ditambah dengan pengumpul yang menggantungkan hidupnya dengan beroperasinya boat tersebut.
Bila ini terus dibiarkan tanpa ada solusi, katanya, maka cukup banyak masyarakat pesisir yang menganggur dan tidak dapat menafkahi keluarga dan anak-anaknya.
“Ini belum lagi dihitung penjual ikan eceran dan pengumpul ikan, mereka juga tidak ada pekerjaan lagi,” katanya.
Oleh karena itu, dia meminta DPRA dan Gubernur Aceh untuk segera turun tangan mengatasi persoalan ini hingga tuntas. Sehingga nelayan pukat trawl yang menggunakan boat 7 Gross Ton (GT) bisa beroperasi kembali.
“Tidak keberatan para nelayan dengan larangan ini, tetapi kami ini setelah dilarang mau kemana, harusnya ada solusi yang kongkrit,” tutur Faisal.