Anggota DPR: Pasal soal Politik Dinasti Masih Tarik-Ulur

Selasa, 03 Februari 2015 | 00:21 WIB
Anggota DPR: Pasal soal Politik Dinasti Masih Tarik-Ulur
Ratu Atut Chosiyah. [Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anggota Komisi II DPR RI, Luthfi Andi Mutty, menyatakan bahwa pasal yang mengatur mengenai politik dinasti dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada, itu masih proses tarik-ulur.

"Pembahasan mengenai politik dinasti itu masih tarik-ulur. Pembatasan keluarga para kepala daerah yang akan mencalonkan diri dalam pilkada sejauh ini masih belum menemui kata sepakat antara fraksi-fraksi di Komisi II DPR," ujarnya, saat dihubungi melalui telepon genggamnya (HP), Senin (2/2/2015).

Luthfi mengatakan, aturan dalam Perppu yang mengatur mengenai pembatasan kerabat kepala daerah yang akan maju dalam pilkada itu sempat disuarakan agar sebaiknya dihapus. Pasalnya, menurut politisi Partai Nasdem ini pula, pasal dinasti politik dianggap telah menghalangi hak politik seseorang, hanya karena menjadi bagian dari kerabat kepala daerah.

"Pada rapat sebelumnya, sebagian besar fraksi menginginkan pasal politik dinasti tersebut dihapus saja, lantaran dianggap menghalangi hak politik seseorang," katanya.

Namun belakangan, menurut Luthfi, setelah kembali menggelar rapat lanjutan di Komisi II, hampir semua fraksi berbalik dan menginginkan agar pasal itu tetap dipertahankan.

"Pasal ini masih tarik-ulur. Sekarang fraksi maunya pasal itu tetap ada. Mereka menginginkan tidak ada dinasti lagi di daerah. Padahal sebelumnya, banyak fraksi yang ingin menghapusnya. Makanya, saya katakan jika ini masih tarik-ulur," terangnya.

Luthfi menjelaskan, perubahan sikap fraksi terkait politik dinasti ini karena beberapa alasan. Di antaranya yakni fraksi menemukan fakta jika calon petahana atau incumbent kerap melakukan intimidasi, utamanya kepada lingkaran birokrasi.

Dia menambahkan, politik dinasti juga dianggap bisa menumbuhkan oligarki politik, serta tidak sehat bagi upaya regenerasi kepemimpinan. Maksudnya, kekuasaan hanya dikuasai oleh beberapa orang saja dan berasal dari satu keluarga, tanpa memberikan ruang kepada pihak lain untuk ikut berpartisipasi.

"Politik dinasti akan berdampak buruk bagi akuntabilitas birokrasi dan pemerintahan, karena cenderung ingin berkuasa dan tidak jarang pula melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)," jelasnya.

Lebih jauh, Luthfi menyebut bahwa politik dinasti juga dinilai cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Artinya, siapa yang mempunyai fasilitas lebih banyak, uang lebih banyak, kekuatan dan pengaruh politik keluarga, maka itulah pemenang di setiap pertarungan politik.

"Baik itu perebutan (jabatan) eksekutif di daerah atau pemilihan kepala daerah, pemilu legislatif, dan lain-lain. Intinya, politik dinasti bisa berakibat pada praktik politik yang tidak sehat," ucapnya. [Antara]

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI