Suara.com - Salah satu anggota Tim Independen Jimly Asshiddiqie meminta kubu Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi saling menahan diri dengan tidak saling memancing emosi satu sama lain.
"Kedua belah pihak perlu 'cooling down', termasuk menjalankan tugas konstitusionalnya masing-masing. Jadi yang satu ini tahan dululah, jangan langsung dipanggil atau ditahan. Lalu satunya juga jangan mengancam kalau saksi tidak datang akan dipanggil," kata Jimly di Kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu di Jakarta, Rabu.
Bagi pihak Polri, dia mengatakan proses hukum bagi pimpinan KPK sebaiknya ditahan dulu sampai masa jabatannya berakhir.
Jika Polri sudah mengantongi bukti-bukti pelanggaran hukum para pimpinan KPK sebaiknya tidak langsung ditetapkan sebagai tersangka.
Begitu pula bagi pimpinan KPK yang sudah dinyatakan tersangka oleh Bareskrim Polri sebaiknya proses hukumnya dilakukan secara bertahap, sehingga tidak langsung dilakukan penangkapan dan penahanan seperti Bambang Widjojanto pekan lalu.
"Maksudnya, yang sudah ya sudahlah. Yang sudah tersangka itu diperiksa secara bertahap sesuai prosedur hukum. Begitu pun yang baru (masuk kasusnya), kalau terbukti benar ya ditahan proses hukumnya sampai Desember nanti," jelas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Begitu pula KPK, lanjutnya, sebaiknya tidak memantik persoalan dengan ancaman akan memanggil paksa saksi-saksi terkait kasus dugaan korupsi yang melibatkan petinggi Polri.
"Yang ini (KPK) juga jangan manas-manasin dengan bilang kalau saksi-saksinya tidak datang lalu akan dipanggil paksa," tambahnya.
Jimly menjelaskan tujuan dibentuknya Tim Independen tersebut agar ketegangan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat segera reda.
"Tim ini dibentuk supaya ketegangan kasus Polri versus KPK ini segera reda, sekaligus untuk merespon masukan dari masyarakat. Kami juga sudah menyampaikan masukan-masukan kepada Presiden di Istana, termasuk solusi jangka pendek, menengah dan panjang," tutur mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Dia menyebutkan tugas Tim Independen adalah memberikan sejumlah alternatif saran, termasuk kelebihan dan kekurangannya. Keputusan akhir terkait polemik tersebut tetap ada di tangan Presiden Joko Widodo.
Presiden membentuk satu Tim beranggotakan sembilan orang dari akademisi, mantan petinggi Polri dan KPK, guna menyelesaikan konflik antara Polri dan KPK.
Selain Jimly, ke-delapan tokoh lainnya adalah mantan Wakil Kapolri Komjen (Purn) Oegroseno, mantan Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, Hikmahanto Juwana, dan mantan Pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas.
Kemudian mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif, pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar, Imam Prasodjo, dan mantan Kapolri Jenderal (Purn) Sutanto. (Antara)