Penjelasan Pakar Penerbangan Soal Kondisi "Stall" Pesawat

Ruben Setiawan Suara.Com
Kamis, 22 Januari 2015 | 04:15 WIB
Penjelasan Pakar Penerbangan Soal Kondisi "Stall" Pesawat
Badan pesawat AirAsia yang ditemukan kapal Singapura. (Facebook/Ng Eng Hen)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pengamat Penerbangan Chappy Hakim memaparkan kondisi di mana pesawat bisa mengalami "stall" atau kehilangan daya angkat (loss of lift).

Chappy dalam "media gathering" yang bertajuk "Tinjauan Industri Penerbangan di Indonesia terkait dengan Carut Marut Penerbangan Penerbangan Nasional" di Jakarta, Rabu (21/1/2015) menjelaskan pesawat bisa terbang karena adanya kecepatan dan "angle of attack" (sudut dengan kemiringan tertentu dalam pesawat).

"Kalau 'angle of attack' itu terlalu tinggi atau rendah ditambah speed-nya (kecepatannya) habis, terjadilah 'loss of lift' atau 'stall'," katanya.

Dia menjelaskan pada umumnya posisi kritis dari "angle of attack", yakni 15 derajat dari "nose up" atau posisi hidung pesawat berada jauh lebih tinggi dari badan.

Dalam posisi normal, seharusnya kemiringan sudut "angle of attack" hanya sekitar lima derajat.

"Keadaan pesawat jatuh karena kehilangan daya angkat itu bisa terjadi pada 'high speed' (kecepatan tinggi) atau 'low speed' (kecepatan rendah)," katanya.

Untuk kasus pesawat AirAsia QZ8501, Chappy enggan menyimpulkan bahwa jatuhnya pesawat tersebut di Selat Karimata karena kondisi "stall".

Dia mengatakan hasil yang lebih akurat bisa dilihat dari hasil investigasi Komite Nasional Keselamatan Penerbangan (KNKT).

"Setiap pesawat punya 'performance' sendiri, kita tidak akan pernah tahu sebelum 'black box' itu dianalisis oleh KNKT," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Mantan Pilot Garuda Indonesia Shadrach Nababan mengatakan "stall" bukan satu-satunya penyebab pesawat bisa jatuh dengan fatal.

Ia juga mengatakan kondisi "stall" masih bisa dikendalikan oleh pilot karena tekanan udara di kabin dan dalam kokpit telah diatur sedimikan rupa hingga dalam ketinggian 30.000 kaki pun, pilot dan penumpang masih bisa bernapas.

"Ketinggian di kabin pesawat itu berbeda, misalkan kalau pesawat berada di 34.000 kaki, 'cabin pressure' dibuat seolah-olah masih di 7.000 kaki," katanya.

Pasalnya, dia mengatakan, batas adanya oksigen hanya sampai di ketinggian 10.000 kaki.

"Kalau dibuat sama, di atas 10.000 kaki itu sudah tidak ada oksigen," katanya.

Dia mengatakan perbedaan antara ketinggian sebenarnya pesawat dengan kabin pesawat tersebut dinamakan "differential pressure", yakni normalnya dalam kabin sekitar delapan "pound square inch" (Psi).

Shadrach mengatakan kecelakaan pesawat bisa dilihat dari analisis "cheese swiss model", yakni kesalahan manusia atau "human error/accident" bukan satu-satunya berada di tangan pilot, namun telah terjadi kesalahan laten sejak di pemilik maskapai itu sendiri.

Tahapan kesalahan tersebut dimulai dari kelalaian organisasi (organizational influences), kemudian diteruskan kepada kelalaian pengawasan (unsafe supervision), persiapan (preconditions for unsafe acts) dan ketika terbang (unsafe acts).

"Jika di semua tahapan itu terjadi bolong-bolong layaknya keju swiss, maka terjadi lah kecelakaan," katanya.

Namun, dia mengatakan hal itu pun masih bisa dihindari oleh pilot, namun jika potensi kecelakaan itu bisa diminimalisasi dari hulu, maka akan jauh lebih aman.

"Bahaya laten ini sudah ada peluang untuk celaka tapi tidak diantisipasi dari maskapai, sehingga yang terjadi pada kecelakaan itu berfokus di pilot," katanya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI