Suara.com - Brasil dan Belanda menarik pulang duta besar mereka dari Indonesia sebagai bentuk protes atas hukuman mati yang diterapkan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dua dari enam narapidana kasus narkotika yang dieksekusi pada Minggu (18/1/2015) dini hari, adalah warga negara itu.
Warga Brasil yang dieksekusi bernama Marco Archer Cardoso Mareira (53). Ia terbukti menyelundupkan 13 kilogram heroin ke Indonesia. Sedangkan warga Belanda yang dihukum mati bernama Ang Kien Soei (62).
Menanggapi protes tersebut, Koordinator Yayasan LBH Indonesia Julius Ibrani menilai kebijakan itu akan berdampak bagi Indonesia.
"Belanda, Brasil dan yang dubesnya ditarik ini akan berdampak, misalnya kerja sama ekonomi, dan kerja sama di bidang lainnya," ujar Julius di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Minggu (18/1/2015).
"Karena perwakilan negara asing yang memberikan duta besarnya di sini itu melahirkan kerja sama, termasuk investasi bisnis dan itu paling berpengaruh pastinya ketika dubes itu menarik," Julius menambahkan.
Sebelumnya, Jaksa Agung HM Prasetyo menyatakan meminta maaf atas ketegasan pemerintah Indonesia.
"Mohon maaf bagi pihak yang kebetulan belum sepakat dengan hukuman mati," kata Prasetyo dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (15/1/2015).
Prasetyo berharap kalangan antihukuman mati dapat memahami pelaksanaan eksekusi mati karena tujuan hukuman ini sesungguhnya untuk hal yang positif bagi bangsa Indonesia.
"Karena apa yang kita lakukan ini semata-mata untuk kehidupan bangsa dari bahaya narkotika. Kita tegas, keras, dan menerapkan eksekusi ini akan membuat jera para pelaku, bandar, pengedar serta jaringannya," kata Prasetyo.
Prasetyo mengingatkan bahwa saat ini, Indonesia sudah menjadi pangsa pasar narkotika terbesar di Asia Tenggara.
"45 persen pasar adalah untuk Indonesia, luar biasa," katanya.
Prasetyo menambahkan jaringan peredaran narkotika sudah meluas dan menyebar kemana mana, bukan hanya di kota besar, tapi sudah merambah ke pelosok desa.
"Korbannya sampai anak-anak," katanya. "Jaringan peredaran juga sudah masuk ke rumah tangga, bahkan dunia pendidikan. Betapa kejahatan ini harus diperangi dan tentunya, kita tidak ada kompromi dengan kejahatan ini."
Untuk menunjukkan bukti bahaya narkotika, Prasetyo mengutip data BNN, setiap hari ada 40-50 orang meninggal karena kasus itu.
Jaksa Agung mengatakan bahwa eksekusi terhadap enam terpidana mati semalam baru gelombang pertama. Ia menegaskan nanti akan disusul eksekusi gelombang berikutnya.
"Dan pada gelombang berikutnya, kita akan masih mendahulukan para terpidana mati perkara kejahatan narkotika," kata Prasetyo.