Presiden Iran Kutuk Pembunuhan Atas Nama Islam

Laban Laisila Suara.Com
Sabtu, 10 Januari 2015 | 02:45 WIB
Presiden Iran Kutuk Pembunuhan Atas Nama Islam
Presiden Iran Hassan Rouhani.(Reuters/Adrees Latif)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Presiden Iran Hassan Rouhani mengutuk aksi-aksi terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan Islam, menyusul serangan maut yang dialami majalah satir Prancis, Charlie Hebdo, di Paris.

Dalam pernyataannya yang dimuat oleh media massa Iran pada Jumat (9/1/2015), Rouhani mengatakan "kekerasan dan terorisme, apakah itu di wilayah ini, di Eropa atau di Amerika Serikat adalah tindakan tercela".

"Mereka, yang membunuh dan melakukan kekerasan serta aksi-aksi garis keras dengan mengatasnamakan jihad, agama atau Islam, sebenarnya menyulut Islamophobia," ujar Rouhani.

Rouhani tampaknya menyinggung hal itu terkait serangan pada Rabu di Paris, yaitu ketika pria-pria bersenjata membantai tewas 12 orang, termasuk delapan jurnalis, di kantor pusat majalah mingguan satiris Charlie Hebdo.

Namun, Rouhani dalam pernyatannya tidak menyebut nama majalah tersebut. Pria-pria bersenjata dan bertopeng ketika melancarkan pembantaian itu meneriakkan "Allahu Akbar" dan mengatakan bahwa mereka melakukan pembalasan bagi Nabi Muhammad.

Charlie Hebdo dikenal karena mengejek Islam radikal dan telah beberapa kali membuat marah kalangan Muslim, terutama ketika majalah itu pada 2006 menerbitkan kartun-kartun bergambar Nabi Muhammad, termasuk salah satunya yang memperlihatkan sebuah sorban sebagai bom.

 Iran pada Rabu mengecam serangan tersebut. Juru bicara kementerian luar negeri Iran, Marzieh Afkham, mengatakan, "Semua aksi terorisme terhadap orang-orang tak berdosa adalah hal yang keluar dari ajaran Islam." Imam Ahmad Khatami, pemimpin utama shalat Jumat, menegaskan pandangan itu dalam khutbah migguannya.

 "Islam tidak membolehkan siapapun untuk membunuh orang-orang yang tidak bersalah, apakah itu di Paris, Suriah, Irak, Yaman, Pakistan atau Afghanistan," katanya. (AFP)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI