Krisis Kepercayaan kepada Polri Masih Terjadi di Sepanjang 2014

Siswanto Suara.Com
Selasa, 30 Desember 2014 | 05:30 WIB
Krisis Kepercayaan kepada Polri Masih Terjadi di Sepanjang 2014
Anggota polisi [Antara/Nyoman Budhiana]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Krisis keamanan dan krisis kepercayaan kepada Polri masih terjadi di sepanjang 2014. Keluhan terhadap sikap, perilaku dan kinerja aparat kepolisian masih menjadi persoalan klasik yang tak kunjung bisa diatasi Polri. Demikian kesimpulan catatan akhir tahun 2014 Indonesia Police Watch terhadap Polri.

Ketua Presidium IPW Neta S Pane mengatakan walau Polri sudah memperoleh renumerasi, upaya membenahi sikap, perilaku dan kinerja anggotanya masih saja belum maksimal. Perubahan mind set di jajaran atas belum maksimal. Jajaran elite Polri cenderung larut dengan pencitraan, kata Neta, Selasa (30/12/2014).

"Akibatnya, keinginan Polri untuk mendapat kepercayaan masyarakat tidak pernah terwujud. Di sepanjang 2014 masyarakat masih menilai, polisi sulit untuk bisa dipercaya," katanya.

Neta menambahkan sebenarnya, Polri cukup berhasil mengamankan Pemilu dan Pilpres 2014, dimana momentum ini sangat rawan, mengingat akan munculnya presiden baru. Polri juga dinilai berhasil menekan aksi terorisme. Padahal di akhir 2012, Poso dan Solo sempat "bergolak." Kelompok-kelompok radikal melakukan uji nyali menyerang fasilitas Polri, antara lain empat kantor polisi dikirimi bom.

Di sepanjang 2014, Indonesia memang aman dari teror bom. Namun, kata Neta, angka kriminalitas, terutama bersenjata api cukup tinggi. Hal ini menunjukkan peredaran senjata api ilegal pada 2014 masih tinggi. Konflik sosial di masyarakat eskalasinya juga meningkat. Perang antar kampung seperti tidak terkendali, termasuk di Jakarta.

Begitu pula konflik TNI-Polri di 2014 ada tujuh kali yang mengakibatkan dua tewas dan 10 luka. Sementara di 2013 hanya ada empat konflik TNI-Polri. Namun, konflik di kawasan tambang dan perkebunan terlihat
menurun di 2014.

Angka curanmor juga relatif tinggi. Kejahatan narkoba makin mengkhawatirkan. Walau Polri terus menerus melakukan penangkapan, kejahatan narkoba tetap saja tinggi, kata Neta.

Hal ini, menurut Neta, disebabkan kebijakan pemerintah tidak pernah tegas dalam pemberantasan narkoba. Terbukti 53 napi hukuman mati tak kunjung dieksekusi sehingga tidak ada efek jera bagi bandar internasional untuk masuk ke Indonesia.

Untuk itu, di 2015 Polri disarankan untuk mengkonsolidasikan diri, terutama dalam menyikapi pemerintahan baru Presiden Jokowi, yang membawa konsep Revolusi Mental. Polri perlu memperkuat jajaran Intelijen dan Bimas, yang tugasnya tidak hanya melakukan deteksi dan antisipasi dini di masyarakat, lebih dari itu harus melakukan deteksi dan antisipasi dini terhadap internal kepolisian. Sebab tantangan Polri ke depan cukup berat, terutama dalam menjaga sikap, perilaku, dan kinerja jajarannya.

IPW mendata ada tujuh faktor kenapa krisis kepercayaan terhadap Polri terus terjadi. Yaitu; kontrol atasan sangat lemah, adanya target ambisius dari atasan, bawahan cenderung cari muka, tidak ada tolok ukur
yang jelas dalam rotasi tugas, tidak ada sanksi pemecatan pada perwira tinggi bermasalah, gaya hidup hedonis makin membudaya di kepolisian, dan kekayaan elit-elit Polri dibiarkan tak terkendali.

Saat ini, kata Neta, yang diinginkan masyarakat dari Polri hanya ada tiga, yakni polisi senantiasa bersikap adil, polisi dapat memberi kepastian hukum, dan polisi mampu memberi jaminan keamanan. Sehingga masyarakat tidak merasa diombangambingkan dengan situasi yang tidak menentu, seperti terjadi bentrokan antar aparat keamanan atau banyaknya polisi ditembak pelaku kejahatan.

"Bagaimana polisi bisa menjaga keamanan masyarakat, jika untuk menjaga keamanan dirinya sendiri tidak bisa. Sebab itu di 2015, Polri perlu melatih jajarannya agar profesional, tangguh, tanggap, dan terlatih," kata Neta.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI