5 Peristiwa Politik Penting Sepanjang 2014

Laban Laisila Suara.Com
Sabtu, 27 Desember 2014 | 19:14 WIB
5 Peristiwa Politik Penting Sepanjang 2014
Pengamanan pada saat pengumuman pemenang pemilu presiden 2014, di depan gedung KPU Jakarta, Sabtu (19/7). [suara.com/Adrian Mahakam]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Bekas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) awal 2014 pernah menyebut kalau tahun ini adalah tahun politik. SBY benar 100 persen.

Kegaduhan politik yang biasanya tak ditangapi serius, ternyata menjalar dan berpengaruh pada setiap warga Indonesia.

Gong besar dari peristiwa politik sudah berawal sejak dari sebelum Pemilu Legislatif dan Presiden, saat Pemilu dan bahkan setelah Pemilu.

Sisa-sisa pertarungan berserakan dengan perpecahan sejumlah partai dan pertarungan di Undang-undang yang melibatkan publik, baik di parlemen maupun di luar parlemen.

Berikut 5 peristiwa politik yang dianggap penting versi suara.com sepanjang 2014:

1. Joko Widodo terpilih sebagai presiden

Jokowi, begitu biasa dia disapa, pengusaha mebel yang merinitis jalur politik sebagai Wali Kota Solo ini berhasil merebut kursi presiden bersama pasangannya Jusuf Kalla, sebelumnya juga pernah menjabat Wakil Presiden.

Nama Jokowi sebelumnya tak pernah diperhitungkan untuk bisa masuk bursa kandidat calon presiden bersama para tokoh yang memang sejak jauh hari memproklamirkan diri hendak bertarung di ajang Pilpres 2014. Sebut saja ada Prabowo Subianto, yang kelak jadi lawannya dan Aburizal Bakrie, Ketum Golkar.

Nama Jokowi mulai menjadi sorotan media saat dia masih masih menjadi Wali Kota Solo. Kala itu dia berseteru dengan Gubenur Jawa Tengah Bibit Waluyo soal lahan pabrik di Solo, juga namanya makin tenar di media karena mendorong mobil produksi lokal.

Panggung buat Jokowi semakin besar, dikala dia terpilih sebagai Gubernur Jakarta berpasangan dengan Basuki Purnama. Aksi ‘blusukan’ ke kelurahan di Jakarta bahkan menjadi tren yang menunjukkan pelayan rakyat.

Jokowi, yang dijuluki oleh majalah Time dengan judul besar “Harapan Baru”, akhirnya terpilih dengan dukungan luas masyarakat. Inilah pertama kalinya politisi daerah bisa melenggang ke Istana Negara.

Walaupun tak begitu mulus dan mendapat dukungan mayoritas partai, Jokowi punya kunci gerbang Istana melalui aksi masyarakat yang mencoblos ke kotak suara.

Jika tak berlebihan, fenomena politik terpilihnya Jokowi, mirip dengan Barack Obama di Amerika, dimana keduanya menjadi magnet rakyat untuk berlomba mencoblos.

 2. SBY Lengser

Sepuluh tahun sudah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memerintah Indonesia sebagai presiden ke 6.

Dia dilantik pertama kali pada 20 Oktober 2004 untuk masa jabatan periode pertama dan berlanjut dengan periode keduanya sebagai presiden pada 2009.

Purnawirawan Jendral TNI Angkatan Darat ini juga beberapa kali sempat mencicip jabatan kursi menteri di kabinet, sebelum akhirnya terpilih sebagai presiden. Jabatan terakhirnya di kabinet, yakni Menkopolhukam di zaman pemerintahan Megawati.

Di zaman pemerintahannya, SBY bersama Jusuf Kalla, mengakhiri konflik di Aceh setelah dihantam bencana tsunami.

Pada dua periode yang berbeda, SBY membawa Indonesia menjadi salah satu negara yang selamat saat krisis ekonomi, khususnya pada 2008 dan 2012, walaaupun nilat tukar Rupiah sempat terjun bebas hingga Rp12.800 per 1 Dolar Amerika.

Selama masa pemerintahan SBY, sejumlah tersangka teror juga ditangkapi dan memaksimalkan peran polisi untuk menghalau gerakan teroris.

Dia juga tak sungkan menyingkirkan orang dekatnya, atau kader partainya, yang terbukti korupsi. Ebut saja Andi Malarangeng, Anas Urbaningrum dan Jero Wacik yang selama ini menjadi petingi Partai Demokrat.

Hanya sayang, pekerjaan rumah seperti menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat belum tuntas. Begitu juga kado sebulan sebelum SBY lengser, dengan lolosnya UU Pilkada dan pertarungan di parlemen.

Kendati demikian, SBY lengser tanpa hambatan dan menciptakan tradisi baru dalam pergantian kepemimpinan dan menyerahkan supremasi sipil kepada Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

3. Lolosnya UU Pilkada

Seperti tinjauan sebelumnya, ini adalah kado terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dituding merebut kedaulatan rakyat saat hendak memilih pemimpin daerah.

Pertarungan UU Pilkada yang sengit antar dua kubu di parlemen menjadi tontonan publik di televisi hingga subuh.

Jagad maya di Indonesia juga riuh rendah dengan ragam pendapat antara warga yang pro dan kontra.

Suara pertarungan di parlemen juga menyiratkan dua blok kuat setelah ajang Pilpres 2014 yang dimenangkan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

Demokrat yang sebelumnya memberi isyarat  mendukung UU Pilkada, pada menit terkahir malah meninggalkan ruang sidang paripurna dan berujung dengan menuai cemooh dari masyarakat.

Tapi tak sampai dua pekan, SBY, yang saat itu masih menjadi Presiden langsung mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pilkada.

Hingga kini pertarungan memang belum kelar dan bakal berlangsung di parlemen dengan wajah baru yang terpilih pada Pileg 2014.

4. KMP versus KIH

Dua blok politik di DPR, Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), muncul sebagai imbas dari ajang Pilpres 2014.

KMP adalah barisan partai pendukung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa yang terdiri dari Partai Gerindra, Golkar (pecah), PAN, PKS, PPP (pecah), Demokrat dan PBB.

Sementara KIH yang mendukung Jokowi dan Jusuf Kalla terdiri dari partai PDI Perjuangan, Hanura, Nasdem, PKB dan PKPI.

Belakangan ada sejumlah kader partai Golkar dan PPP balik mendukung Jokowi dan JK.

Inilah untuk pertama kalinya parlemen Indonesia pasca reformasi terbelah dua antara kubu oposisi dan pendukung pemerintahan, meski terdiri dari beberapa partai.

Suasana perbedaan pendapat yang mencolok, meski baru dilantik dua bulan lalu, juga terasa di parlemen.

Hal ini ditandai dengan munculnya DPR tandingan yang dibentuk KIH karena kalah bersaing merebut kursi di level pimpinan MPR, DPR hingga ke komisi.

5. Golkar Pecah

Perpecahan faksi di Golkar sebetulnya bukan hal baru. Golkar yang mengukuhkan diri sebagai partai sejak pasca reformasi 1998 ini pernah berkuasa lebih dari 25 tahun di zaman Orde Baru.

Golkar selalu mesra dengan penguasa. Baru setelah Soeharto lengser, Golkar terlempar keluar dari kekuasaan, meski tak pernah benar-benar menjadi oposisi.

Pada 2004, juga pernah pecah sejak kalah menyorongkan capres dan cawapres waktu itu. Namun Jusuf Kalla, yang kini menjadi pendamping Joko Widodo sebagai wakil presiden bisa mengendalikan Golkar sepenuhnya dan lagi-lagi dekat dengan kekuasaan.

Kini perseteruan Golkar pasca 2014, tampaknya lebih tajam dari sepuluh tahun lalu.

Perpecahan ini lagi-lagi bermula dengan ajang Pilpres dimana Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) mendukung pasangan Prabowo-Hatta, sedangkan sebagian lain sudah woro-woro mendukung Jokowi-JK.

Seteru semakin memuncak saat dua kubu yang dikomandani masing-masing Ical dan Agung Laksono menggelar kongres yang mengklaim sah dan didukung kader di tingkat DPD.

Pertarungan juga masih berlanjut hingga penghujung 2014. Magnet Golkar menjadi sangat besar ketimbang PPP, meski sama-sama merupakan partai gaek Orde Baru, hal itu karena suara Golkar yang menjadi kunci di parlemen setelah merebut posisi kedua dalam perolehan suara Pileg 2014.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI