Perpecahan faksi di Golkar sebetulnya bukan hal baru. Golkar yang mengukuhkan diri sebagai partai sejak pasca reformasi 1998 ini pernah berkuasa lebih dari 25 tahun di zaman Orde Baru.
Golkar selalu mesra dengan penguasa. Baru setelah Soeharto lengser, Golkar terlempar keluar dari kekuasaan, meski tak pernah benar-benar menjadi oposisi.
Pada 2004, juga pernah pecah sejak kalah menyorongkan capres dan cawapres waktu itu. Namun Jusuf Kalla, yang kini menjadi pendamping Joko Widodo sebagai wakil presiden bisa mengendalikan Golkar sepenuhnya dan lagi-lagi dekat dengan kekuasaan.
Kini perseteruan Golkar pasca 2014, tampaknya lebih tajam dari sepuluh tahun lalu.
Perpecahan ini lagi-lagi bermula dengan ajang Pilpres dimana Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) mendukung pasangan Prabowo-Hatta, sedangkan sebagian lain sudah woro-woro mendukung Jokowi-JK.
Seteru semakin memuncak saat dua kubu yang dikomandani masing-masing Ical dan Agung Laksono menggelar kongres yang mengklaim sah dan didukung kader di tingkat DPD.
Pertarungan juga masih berlanjut hingga penghujung 2014. Magnet Golkar menjadi sangat besar ketimbang PPP, meski sama-sama merupakan partai gaek Orde Baru, hal itu karena suara Golkar yang menjadi kunci di parlemen setelah merebut posisi kedua dalam perolehan suara Pileg 2014.