10 Tahun Tsunami, Masjid Raya Baiturrahman Tetap Memesona

Achmad Sakirin Suara.Com
Kamis, 25 Desember 2014 | 11:02 WIB
10 Tahun Tsunami, Masjid Raya Baiturrahman Tetap Memesona
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh (shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kumandang azan Ashar baru saja terdengar di Masjid Raya Baiturrahman  Banda Aceh. Orang-orang yang hendak melaksanakan salat, bergegas menuju ke dalam masjid. Sementara sebagian lainnya masih berwudu, membersihkan diri dari hadas.

Pada sisi lain, di dekat menara utama masjid, sekumpulan wanita berdiri rapi. Sambil memberikan senyuman, mereka menunggu kode jepretan sang fotografer yang berdiri di depan. Ada juga berapa pria yang berpose dengan posisi itu. Mereka semua terlihat riang  berfoto di sana, meski Ashar telah tiba.

Rabu sore, 24 Desember 2014, saya mengelilingi Masjid Raya Baiturrahman. Mesjid yang tetap berdiri kokoh meski diterjang tsunami 10 tahun lalu. Tak ada perubahan atas masjid yang menjadi ikon Ibu Kota Provinsi Aceh ini. Dinding-dindingnya yang terkena air gelombang tsunami, masih terlihat rapi berbalut cat putih. Begitu juga dengan pilar-pilar utama penyangga bangunan. Kokoh menahan beban tujuh kubah di atasnya.

Sementara 4 menara di sisi kiri dan kanan mesjid, berdiri membumbung awan. Begitu juga menara utama, menjulang tinggi ke udara. Di tengah, di antara masjid dan menara utama, sebuah kolam dengan air mancur tetap memesona.

“Bisa dikatakan tidak ada bagian yang rusak saat tersapu tsunami waktu itu. Cuma retak-retak aja yang ada akibat gempa,” kata Fahrizal yang sejak tahun 2001 berprofesi sebagai sekuriti masjid.

Jika pun ada yang rusak akibat terjangan gelombang tsunami, kata Rizal, itu hanya terjadi pada pagar bagian belakang masjid. Karena tingginya air yang datang, sebagian dinding pagar jebol.

Cerita Fahrizal kemudian dilengkapi seorang saksi mata lainnya.  Namanya Muharram Saputra. Lelaki berusia 33 tahun ini menjadi salah seorang saksi atas ganas gelombang tsunami yang melewati pelataran Masjid Baiturahman Banda Aceh.

Cerita warga saat terjadi tsunami

Minggu pagi, 26 Desember 2004. Setelah gempa berkekuatan 9,7 Skala Richter (SR) menggoyang Aceh, Muharram beranjak dari rumahnya di Kampung Baru, Kecamatan Baiturahman, Banda Aceh. Ia berkeliling melihat kondisi kota yang dikabarkan luluh lantak akibat gempa.

“Saya kelilinglah, Saya lihat bangunan-bangunan runtuh, Pante Pirak (Red-Nama Salah satu Supermarket di Banda Aceh) roboh ke bawah. Itu setelah gempa terjadi,” katanya.

Setelah mengetahui kondisi tersebut, Muharram  kemudian melanjutkan perjalanannya ke Jalan Ponegoro. Sesampai di sana ia berhenti di sebuah warung kopi.  Namun tak lama berselang, setelah memesan kopi, suara gemuruh muncul. Orang-orang berlarian sambil berteriak: air..air..air !!!

“Saya pikir apa dibilang orang-orang, banjir..!! Wab ie ka di ek berati banjir (karena air sudah naik berartikan banjir). Keluarlah saya dari warung, orang-orang udah lari ketakutan,” ujar Muharram dengan nada suaranya yang khas Aceh.

Melihat kejadian itu, Muharram tak tinggal diam.  Karena memang melihat air di kejauhan, ia ikut berlari bersama ratusan orang warga lainnya. Ia bergegas menuju Masjid Raya Baiturahman, sebagai lokasi terdekat.

“Pas saya manjat ke atap gedung parkir sepeda motor sebelah utara,  pas air pertama lewat, cuma satu langkah bedanya. Karena saya takut sekali, saya lompat dan masuk ke dalam masjid,” katanya.

Di dalam masjid, kata dia, orang-orang begitu panik. Ada yang tak henti berzikir dan membaca doa, ada juga yang sibuk berlari, mencari tempat yang lebih tinggi.  Suara jeritan dan tangis juga terdengar mengisi setiap sudut masjid.

“Macam-macam, ada yang nangis, zikir, baca doa, sampe lari-lari cari tempat aman. Macam-macamlah saat itu karena saking paniknya,” kisah Muharram yang kini bekerja sebagai juru parkir di Masjid Raya Baiturrahman.

Diantara ribuan manusia yang bertumpuk di dalam masjid, Muharram kembali mencari perlindungan. Ia pun menerobos masuk menuju atap. Melewati pintu bagian dalam masjid, ia bersama sejumlah warga lainnya berhasil mecapai atap masjid, tepatnya di samping kubah.

“Sampai di atap, saya lihat memang sudah disapu semua. Airnya hitam seperti berdiri. 4 menara masjid saat itu goyang-goyang ,” katanya.

Dari tempat itu, Muharram melihat persis betapa ganasnya gelombang Tsunami. Selain menyapu bangunan yang ada, gelombang tersebut juga menyeret ratusan manusia. Air dari gelombang dahsyat itu, dikatakannya, begitu pekat seperti bercampur dengan lumpur.

“Seperti berdiri airnya, hitam pekat. Diantara air yang itulah saya mlihat banyak mayat-mayat, orang yang kena seret arus tsunami,” katanya.

Pun demikian, meski begitu dahsyat, gelombang tsunami tidak meluluhlantakan Masjid Baiturrahman. Air yang menggenangi masjid hanya sampai ke bagian akhir anak tangga menuju dalam masjid. Gelombang dahsyat yang datang, hanya mengalir bersama puing-pung bangunan melewati pelataran masjid.

“Sebab itulah saya pikir tidak ada perubahan, sama aja dengan waktu itu masjid ini. Kecuali bagian kubah aja yang ada direvoasi waktu itu, diganti dengan plat. Pokonya kalau karena tsunami kenapa dengan rumah Allah ini,” katanya.

Hujan perlahan mulai membasahi kubah-kubah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.  Tak terasa waktu begitu cepat berlalalu. Setelah lebih dari 30 menit mendengarkan cerita Muharrram, saya pun bergegas, beranjak meninggalkan masjid.

Dalam perjalanan pulang, saya kembali menatap wajah Baiturahman. Begitu Indah. Apalagi berbagai tumbuhan hijau tumbuh di sekelilingnya.  Baiturahman, meski 10 tahun sudah pascatsunami melanda, ia tetap kuat, tegak berdiri melayani warga Banda Aceh untuk beribadah.

Kesan itu, mengingatkan saya pada perkataan seorang turis asal Malaysia yang saya temui saat berkeliling. Namanya Mahfud. Baginya Baiturrahman adalah Masjid yang luar biasa.

“Amazing,” begitulah katanya.[ Afiansyah Ocxie]  

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI